Tuesday, August 28, 2018

AJARAN AJARAN SESAT KAUM MURJIAH


Murji-ah ada tiga macam:
– Macam pertama mengatakan Al Irja dalam Al Iman dan Al Qadar sesuai aliran-aliran Qadariyyah dan Mu’tazilah.
– Macam lain berpaham Al Irja dalam Al Iman dan (berpaham) Jabriyyah dalam Al ‘Amal sesuai madzhab Jahmiyyah.
– Dan macam lain yang ke tiga keluar dari Jabriyyah dan Qadariyyah, dan mereka adalah berbagai firqah: Yunusiyyah, Ghassaniyyah, Tsaubaniyyah, Tumaniyyah, dan Mirrisiyyah.
Sebab mereka dinamakan Murji-ah adalah karena mereka mengakhirkan ‘amal dari Al Iman, karena Irja’ maknanya adalah ta’khir (mengakhirkan), dikatakan: Arjaituhu wa arja-tuhu idza akhkhartuhu (bila saya mengakhirkannya).
Murji-ah dalam bab Al Iman ada dua macam:
Pertama: Ghulatul Murji-ah (Murji-ah Ahli Kalam)
Ke dua: Murji-ah Fuqaha’[1]
Adapun Murji-ah Ahli Kalam, maka sungguh Jahm Ibnu Shafwan dan yang mengikutinya telah mengatakan: “Al Iman itu adalah sekedar tashdiq (pembenaran) dengan hati dan mengetahuinya”.
Mereka tidak menjadikan amalan hati sebagai bagian dari Al Iman, serta mereka mengira bahwa seseorang bisa jadi dia itu mu’min kamilul iman dengan hatinya, sedangkan dia itu menghina Allah dan Rasul-Nya, memusuhi auliya Allah dan terhadap musuh-musuh Allah, dia menghancurkan mesjid dan menghinakan mushhaf dan mu’minin dengan puncak penghinaan serta memuliakan orang-orang kafir dengan puncak pemuliaan.
Mereka berkata: “Ini semua adalah maksiat yang tidak menafikan keimanan yang ada di hatinya, akan tetapi ia melakukan hal ini sedangkan ia secara bathin di sisi Allah adalah mu’min”.
Mereka berkata: “Sebab diberlakukan baginya Ahkamul Kuffar di dunia ini adalah karena ucapan-ucapan ini adalah tanda terhadap kekafiran”.
Bila dinyatakan terhadap mereka bahasa Al Kitab, As Sunnah dan Ijma telah menyatakan bahwa seorang tertentu dari mereka itu kafir pada hakekat sebenarnya lagi di ‘adzab di akhirat. Maka mereka berkata ini adalah dalil yang menunjukkan lenyapnya tashdiq dan ‘ilmu dari hatinya.
Kekafiran menurut mereka adalah hanya satu hal, yaitu kejahilan, dan iman juga adalah hanya satu hal yaitu pengetahuan atau pendustaan hati dan pembenarannya. Sesungguhnya mereka berselisih apakah tashdiqul qalbi itu hal lain di luar al ‘ilmu atau ia itu suatu yang sama.
Pendapat ini walaupun pendapat yang paling rusak yang dikatakan dalam hal al iman, namun ia telah dianut oleh banyak kalangan dari Ahlul Kalam yang Murji-ah. Dan salaf sendiri seperti Waki Ibnul Jarrah, Ahmad Ibnu Hambal, Abu ‘Ubaid dan yang lainnya telah mengkafirkan orang yang mengatakan pendapat ini, dan mereka berkata: Iblis kafir dengan nash Al Qur’an sedang dia hanya dikafirkan dengan sebab istikbar–nya serta sikap penolakan untuk sujud (menghormati) kepada Adam bukan karena ia mendustakan berita, begitu juga Fir’aun dan kaumnya. Allah ta’alaberfirman:
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal mereka meyakini (kebenaran)nya.”[QS. An-Naml: 14].
Musa ‘alaihissalam berkata kepada Fir’aun:
قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنْزَلَ هَؤُلاءِ إِلا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ بَصَائِرَ
“Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata.” [QS. Al Isra: 102]
Inilah Musa Ash Shadiq Al Mashduq mengatakan itu kepadanya, maka ini menunjukkan bahwa Fir’aun itu telah mengetahui bahwa Allah telah menurunkan ayat-ayat itu, sedangkan dia itu tergolong makhluk Allah yang paling besar pembangkangan dan sikap aniayanya karena sebab keburukan keinginan dan maksudnya, bukan karena ketidaktahuannya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلا فِي الأرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” [QS. Al Qashash: 4]
Begitu juga orang Yahudi yang telah Allah firmankan tentang mereka:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ
“Orang-orang yang telah Kami beri Al Kitab mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri.” [QS. Al Baqarah: 146]
Dan begitu pula kaum musyrikin yang telah Allah firmankan tentang mereka:
فَإِنَّهُمْ لا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ
“Karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” [QS. Al An’am: 33]
Adapun Murji-ah Fuqaha’, yaitu orang-orang yang mengatakan bahwa Al Iman itu tashdiqul qalbi dan ucapan lisan, sedang amal itu bukan bagian darinya, dan di antara mereka segolongan dari ahli fiqih Kufah dan ahli ibadahnya, serta pendapat mereka itu tidaklah seperti pendapat Jahm, maka mereka itu mengetahui bahwa orang itu tidak menjadi mu’min bila tidak menyatakan keimanannya padahal dia mampu melakukannya, dan mereka mengetahui bahwa Iblis, Fir’aun, dan yang lainnya adalah kafir meskipun hati mereka membenarkannya, akan tetapi mereka bila tidak memasukkan amalan-amalan hati dalam al iman maka lazim atas mereka pendapat Jahm, mereka juga tidak berpendapat akan bertambah dan berkurangnya keimanan dengan sebab amal, namun mereka mengatakan bahwa bertambahnya al iman itu terjadi sebelum sempurnanya tasyri’, dengan arti bahwa setiap kali Allah menurunkan ayat maka wajib membenarkannya,sehingga tashdiq (pembenaran) ini tergabung dengan tashdiq yang sebelumnya, akan tetapi setelah sempurnanya apa yang Allah turunkan maka tidaklah lagi iman yang bertingkat-tingkat menurut mereka, namun iman manusia seluruhnya sama, iman assabiqin al awwalin seperti Abu Bakar, dan ‘Umar adalah sama dengan iman manusia yang paling durjana seperti Al Hajjaj, Abu Muslim Al Khurasaniy dan yang lainnya.[2]
Sedangkan Irja pada masa kita ini adalah banyak, baik di kalangan orang-orang awam ataupun di kalangan orang-orang yang tergolong beragama:
Di antara Irja orang-orang awam adalah ucapan mereka yang masyhur: Iman itu di hati dan tidak memperhatikan amalan-amalan namun menterbengkalaikannya atau menyepelekannya serta meninggalkannya dengan dalih merasa cukup dengan baiknya hati dan kebersihan niat.Adapun Irja orang-orang yang ber-intisab kepada dien atau dakwah yang kita munaqasyahi dalam kitab ini. Ia pada umumnya bukan dalam definisi al iman, karena mereka mendefinisikannya dengan definisi yang benar, mereka mengatakan: Al Iman adalah ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati dan amalan dengan jawarih dan arkan… atau mengatakan: Ia adalah ucapan dan amalan, dan ia adalah pendapat Ahlus Sunnah dalam Al Iman.
*Namun saat mereka menerapkan hal itu terhadap waqi’ (realita) dan dalam sisi praktek terutama terhadap nawaqidlul iman, (maka) nampak di hadapan anda bahwa rukun ‘amal yang mereka tetapkan dalam definisi Al Iman adalah diterlantarkan pada mereka bahkan ia hampir gugur dan disia-siakan.*
Ya memang mereka mengatakan -atau mayoritas mereka- bahwa Al Iman itu bertambah dengan amal shalih dan berkurang dengan maksiat, sebagaimana yang dikatakan Ahlus Sunnah, akan tetapi dosa-dosa seluruhnya menurut mereka adalah hal yang menguranginya kesempurnaan iman saja dan tidak ada pada dosa-dosa itu satupun yang menggugurkan ashlul iman, kecuali pada satu keadaan saja yaitu bila perbuatan dosa itu disertai juhud (pengingkaran) atau istihlal atau keyakinan, begitulah secara muthlaq apapun bentuk dosanya atau amalannya. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan dalam sabdanya: “Iman itu tujuh puluh sekian cabang (dan dalam riwayat At Tirmidzi: Pintu) sedang yang paling tinggi (Dan dalam riwayat At Tirmidzi: yang paling tinggi) adalah ucapan Laa ilaaha illallaah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan kotoran dari jalan, sedangkan malu itu satu cabang dari Al Iman.”(HR. Muslim dan Ashhabus Sunan dari hadist Abu Hurairah).
Seluruh cabang-cabang Al Iman dan pintu-pintunya adalah tidak sama, maka cabang (Laa ilaaha illallaah) itu tidaklah seperti cabang (rasa malu) atau (menyingkirkan kotoran dari jalan).
Akan tetapi di antaranya ada hal yang dengan lenyapnya ia, maka iman berkurang saja seperti rasa malu.
Di antaranya ada hal yang dengan lenyapnya ia, maka imanpun menjadi gugur seperti cabang Laa ilaaha illallaah.
Khawarij dan orang yang sejalan dan mengikuti mereka dari kalangan Ghulatul Mukaffirah menjadikan lenyapnya cabang mana saja dari cabang-cabang Al Iman sebagai hal yang menggugurkan dan menghilangkan ashlul iman.
Kemudian datang Murji-atul ‘Ashr (Neo Murji-ah atau Murji-ah Gaya Baru) -sebagai reaksi balik terhadap Khawarij dan madzhab mereka- terus mereka menjadikan lenyapnya cabang-cabang al iman seluruhnya hanya sekedar mengurangi al iman, dan tidak satupun darinya bisa menghilangkan atau menggugurkan ashlul iman, kecuali bila hal itu berkaitan dengan juhud atau keyakinan.
Dan kedua kelompok itu adalah sesat.
Adapun Ahlul haq dan Ashhabul Firqah An Najiyah Wath Tha-ifatul Manshurah, maka mereka itu pertengahan dalam abwabul iman wal kufr. Menurut mereka syu’abul iman (cabang-cabang keimanan) di antaranya ada yang mempengaruhi saja pada kamalul iman (kesempurnaan iman) dan tidak menghilangkannya, dan macam ini terbagi menjadi dua bagian, pertama: cabang yang tergolong kamalul iman al mustahabb dan ke dua: kamalul iman al wajib.
Dan di antara syu’abul iman ada yang menghilangkan ashlul iman dan menggugurkannya.
Sehingga menurut mereka Al Iman itu menjadi tiga macam:
Cabang yang termasuk kamalul iman al mustahabb, yaitu hal yang dianjurkan oleh Allah dan tidak ada ancaman atas sikap tafrith di dalamnya.Cabang yang termasuk kamalul iman al wajib, yaitu yang ada ancaman dari Allah atas sikap tafrith di dalamnya dengan ancaman yang tidak sampai pada ancaman kekafiran.Dan cabang yang termasukashlul iman, yaitu yang tersusun dari setiap syu’bah (cabang) yang mana al iman lenyap dan gugur dengan lenyapnya.
Dan Ahlul Haq tidak membuat-buat di dalamnya, kemudian menjadikan suatu cabang termasuk dari macam ini atau itu kecuali dengan dalil syar’iy dan nash dari Allah ta’ala atau Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam:
قَالُوا سُبْحَانَكَ لا عِلْمَ لَنَا إِلا مَا عَلَّمْتَنَا
“Maha suci Engkau, tidak ada pengetahuan bagi kami, kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami.” [QS. Al Baqarah: 32]
Dan firqah Irja yang paling mirip dengan Murji-atul ‘Ashr dalam abwabul iman wal kufr itu adalah Murji-ah Mirrisiyyah: Murji-ah Baghdad pengikut Bisyir Ibnu Ghiyats Al Mirrisiy yang berpendapat dalam masalah Al Iman: “Sesungguhnya ia adalah tashdiq dengan hati dan lisan seluruhnya, dan bahwa sujud kepada berhala itu bukanlah kekafiran akan tetapi ia adalah dilalah terhadap kekafiran.” [3]
Dan itu dikarenakan Murji-ah masa kita ini tidak memandang bahwa di sana ada kufur ‘amaliy yang mengeluarkan dari millah kecuali bila itu disertai dengan keyakinan, atau juhud atau istihlal, maka itu barulah kekafiran menurut mereka.
Sama saja baik itu termasuk masalah hinaan terhadap Allah ta’ala atau sujud kepada berhala atau tasyri’ (membuat hukum/UU) di samping Allah, atau memperolok-olok agama Allah, semua itu bukanlah kekafiran dengan sendirinya, namun ia adalah dalil yang menunjukkan bahwa pelakunya meyakini kekafiran, jadi kekafiran itu adalah keyakinannya atau pengingkarannya atau istihlal–nya, sehingga dengan hal itu mereka telah membuka pintu keburukan lebar-lebar untuk merugikan ahlul Islam yang masuk darinya setiap mulhid, zindiq dan orang yang mencela dienullah dengan aman tentram. Kaum Murji-atul ‘Ashri itu menambalkan buat para thaghut murtaddindan membela-bela mereka dengan syubhat-syubhat yang sama sekali tidak pernah terbesit di benak para thaghut itu, dan mereka sama sekali tidak pernah mendengarnya, serta mereka tidak mungkin mendapatkan tentara yang tulus yang mau membela-bela mereka dan menjadi benteng kebatilan mereka seperti kaum Murji-atul ‘Ashri itu, oleh sebab itu sebagian salaf berkata tentang Irja: “Ia adalah dien yang menyenangkan para raja!!!”
Sebagian yang lain berkata tentang fitnah Murji-ah, bahwa ia: “lebih ditakutkan atas umat ini dari fitnah Khawarij.”
Dan mereka berkata: “Khawarij lebih kami udzur daripada Murji-ah.”
Dan ini bukan ucapan yang asal-asalan, akan tetapi ia adalah haq dan benar, Khawarij di antara dorongan sikap ghuluw dan penyimpangan mereka adalah bermula karena sikap marah saat larangan-larangan Allah dan batasan-Nya dilanggar -menurut klaim mereka- adapun Murji-ah, maka madzhab mereka[4] itu menghantarkan pada pelanggaran batasan-batasan syar’iyyat, pelepasan diri dari ikatan dan dlawabith dieniyyah, serta membuka pintu-pintu riddah dalam rangka mempermudah orang-orang kafir dan memuluskan jalan bagi kaum zanadiqah.
Sungguh (pada) masa kita ini telah menyaksikan bantahan yang sangat banyak terhadap Khawarij Mu’ashirin dan terhadap ahlul ghuluw fittakfier sampai pasaran penuh sesak dengan buku-buku dan desertasi-desertasi seputar itu, dan pada mayoritasnya sangat kuat sikap aniayanya dan sangat lemah keobjektifannya.
Di sisi lain jarang sekali kita menemukan orang yang menulis rincian yang baik tentang Irja, terutama Irja masa kini dan para pelakunya, serta menghati-hatikan dari syubhat-syubhat mereka sebagaimana menghati-hatikan dari syubhat-syubhat Khawarij…[5]
Mudah-mudahan kitab kami ini menutupi suatu dari kekurangan dalam bab ini, atau memberikan contoh yang baik sehingga memberikan motivasi terhadap ahlul ilmu untuk menulis dalam hal ini sebagai bentuk penjelasan akan al haq dan pembongkaran akan kepalsuan al bathil dan syubhat-syubhat al mubtadi’ah yang mencoreng al haqqul mubin. Dan saya memohon kepada Allah agar dengannya Dia membuka telinga-telinga yang dungu, mata-mata yang buta dan hati yang tertutup, serta Dia menjadikannya sebagai perbuatan yang tulus untuk wajah-Nya yang mulia. Segala puji bagi Allah di awal dan di akhir.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘Aalamiin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Khatamul Anbiya wal Mursalin, wa ba’du:
Ketahuilah -semoga Allah ta’ala merahmati kami dan engkau- bahwa telah sampai kepada kami ungkapan-ungkapan dari banyak kalangan yang mengaku berilmu dan berdakwah ilallah, yang intinya bahwa tidak ada satu ucapan atau amalan yang mana pelakunya dikafirkan dengan sebabnya kecuali bila hal itu berkaitan dengan keyakinan dan kalau tidak maka tidak (dikafirkan), dan mereka mengecualikan shalat, dan bisa saja sebagian mereka berhujjah dengan hadits Abdullah Ibnu Syaqiq Al ‘Uqailradliyallahu ‘anhu: “Adalah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memandang suatupun dari amalan yang meninggalkannya merupakan kekafiran selain shalat.” Diriwayatkan oleh At Tirmidzi.[6]
Dan berhujjah pula dengan ucapan yang masyhur: “Dan kami tidak mengkafirkan orang muslim dengan sebab dosa selama ia tidak menghalalkannya”. Dan bisa jadi sebagian mereka menjadikannya marfu’ dan menjadikannya sebagai hadits.
Dan telah terjadi hiwar (diskusi) antara kami dengan sebagian mereka, dan kami utarakan sebagian contoh-contoh yang menyelisihi dan menggugurkan apa yang mereka tetapkan sebagai kaidah, seperti menghina (Allah), memperolok-olok (ajaran Islam), sujud terhadap berhala dan lain-lain.
Maka mereka berkata: “Sesungguhnya ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan semacam ini tidaklah muncul kecuali dari keyakinan. Maka orang yang menghina Allah atau yang memperolok-olok ajaran-Nya atau yang sujud terhadap berhala mesti ia itu menyembunyikan dari kerusakan keyakinan serta pelecehan akan dien dan ajaran-ajarannya hal yang mendorong dia untuk menghina atau memperolok-olokan dan perbuatan-perbuatan yang serupa dengan keduanya, jadi inilah kekafirannya bukan perbuatan-perbuatan itu, sehingga suatu amalan-amalan itu tidak dihukumi sebagai kekafiran kecuali dengan batasan ini.”
Dan ketahuilah bahwa asal masalahnya adalah hanyalah dihembuskan seputar permasalahan tahakum kepada thaghut dan bahwa pelakunya tidak dikafirkan kecuali bila melakukannya sebagai bentuk juhud terhadap hukum Allah atau bentuk istihlal -mereka maksudkan para thaghut masa kini yang membuat hukum di samping Allah- terus mereka menjadikan kekafiran -atau batasan kekafiran- dalam perbuatan-perbuatan kekafiran ini adalah juhud dan istihlal, bukan perbuatan kekafirannya itu sendiri berupa tahakum kepada thaghut atau pembuatan hukum di samping Allah atau perolok-olokan terhadap dienullah atau celaan terhadap syariat Allah atau sujud terhadap selain Allah dan hal serupa lainnya.
Dan asalnya saya mengira bahwa pendapat yang buruk lagi kosong dari dalil ini hanya terbatas di kalangan kaum pengekor hingga saya melihat di antara kalangan yang intisab kepada ilmu dan aktif berdakwah serta terkenal lagi tersohor di kalangan awam dan orang-orang bodoh, ada orang yang melontarkan pemahaman yang cacat itu dan menyebarkannya serta mempromosikannya dalam rangka membela-bela para thaghut dan musuh-musuh dien ini dari kalangan para penguasa murtad. Maka saya cepat-cepat menulis lembaran-lembaran ini dalam rangka membungkam dan menggugurkan syubhat ini seraya saya memohon kepada Al Maula ‘Azza Wa Jalla untuk menjadikannya bermanfaat serta tulus karena Wajah-Nya, sesungguhnya Dia sebaik-baik pelindung dan penolong.
[1] Di sana ada macam ke tiga yaitu mereka yang mengatakan: Sesungguhnya Iman itu sekedar ucapan lisan dan pendapat ini tidak dikenal sebelum dari Al Kurramiyyah.
[2] Diambil dan disarikan dari Kitabul Iman karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[3] Sebagai contoh silahkan lihat Al Farqu Bainal Firaq karya Abdul Qahir Al Bahgdadi hal 180 dan juga Al Fashlu Fil Milal Wal Ahwa Wan Nihal karya Ibnu Hazm 5/75.
[4] Saya berkata: (madzhab mereka itu menghantarkan) karena Murji-ah di awal mulanya di antara mereka ada fuqaha dan ‘ubbad, sedangkan mukhalafah mereka terhadap Ahlus Sunnah hanyalah dalam definisi Al Iman. Meskipun mereka itu berpendapat bahwa amal tidaklah masuk dalam nama al iman karena syubhat-syubhat yang dibisikkan syaitan kepada mereka, akan tetapi mereka tidaklah meninggalkan amal, tidak pula mempermudah kekafiran atau membela-bela kaum musyrikin, tapi Irja setelah itu berkembang dan para penganutnya terbagi banyak aliran dan kelompok yang keadaannya telah menghantarkan mereka kepada apa yang kita bicarakan pada akhirnya.
[5] Ini sebelum dua belas tahun, adapun pada hari ini dada kami telah tenang dan mata kami berbinar-binar dengan apa yang digoreskan oleh banyak ikhwan kami al muwahhiidin dalam bab ini.
[6] HR. Al Hakim juga dari ucapan Abu Hurairah ra, dan ia hadist shahih dengan seluruh jalan-jalannya.

No comments:

Post a Comment

NOTES :
- Harap bekomentar sesuai dengan judul postingan
- Tidak diperbolehkan mempromosikan barang atau berjualan
- Bagi yang berkomentar menyertakan link dianggap spam

==> SELAMAT BERKOMENTAR .... :D