Sunday, February 26, 2017

Jomblo Bahagia Bukanlah Mitos Belaka



Pernah kuberpikir jika jomblo bahagia hanyalah mitos belaka. Selayaknya Unicorn ataupun Minotaur yang disebut-sebut ada, tetapi tanpa bukti yang nyata. Terlebih jika jomblowan atau jomblowatinya adalah bani remaja. Bagaimana bisa? 

Mereka yang tengah mengalami masa-masa ketertarikan dengan lawan jenisnya, memilih menikmati hari-harinya dengan sendiri. Bukankah pacaran juga merupakan langkah awal mengenal lawan jenisnya agar lebih intens lagi? Tentu guna bekal di masa pernikahan kelak. Kecuali bagi bani jomblo yang berkembang biaknya dengan cara membelah diri atau cangkok, pasti tak membutuhkan orang lain. *eh.

Masa remaja yang kualami sedikit berbeda dari remaja kebanyakan. Di saat teman-teman SMA-ku begitu heboh mengenalkan pasangannya yang cantiknya badai tsunami itu, aku justru hanya bisa diam termangu sambil ngemut gagang sapu. Bagaimana bisa teman-temanku sekejam itu? Menceritakan kebahagiaan masa pacaran mereka di depan seorang fakir cinta sepertiku.

           “Lina itu, GuysUiwiigh, cuantik banget! Gak perlu maju-mundur, maju-mundur, dia udah cantik dari sononya. Dan kalian tahu, malam minggu kemarin kami ke Bukit Bintang untuk mengabadikan kedekatan kami. Kebayang, kan, gimana romantisnya kami?!” ucap Rahman—teman dekatku—dengan begitu terperinci layaknya laporan akuntansi.

            Saat itu, sejujurnya aku merasa sangat iri. Apakah aku juga kudu cari pacar seperti mereka? Aku gak pengen cuma saingan ngerjain tugas MTK di kelas aja. Aku juga pengen saingan di bidang lain, di bidang yang lebih menantang. Yah, saingan cari pacar paling cakep buat dipamerin ke temen-temen gitu, misalnya.

            Sejak itu, aku bertekad buat cari pacar. Kutatap lamat-lamat wajah unyuku di dalam cermin. Ah, ternyata aku masih kecil, takut… takut…. *Anggun C. Casmi covering.

            Kurasa sudah saatnya, aku membatin penuh percaya diri.

            Kutatap lamat-lamat sosok Mini—nama panjangnya Tumini—yang tersenyum manis di dalam sebuah foto yang sudah kusimpan sejak lama. Foto itu kudapat dari ponsel temanku. Kala itu, aku belum berani berbincang lama-lama dengan Mini, kecuali saat mengajarkannya pelajaran Matematika. Selebihnya, aku begitu kikuk saat berada di sampingnya.

Mini hanya akan datang padaku jika ada PR saja. Selebihnya, dia akan berlalu sembari meninggalkan senyuman yang menghunjam benakku. Senyuman dari bibir tipisnya yang gak mbeleber ke mana-mana; senyuman yang gak ada sisa cabe di giginya, dan senyuman yang selalu membuatku semangat mengerjakan seabrek soal matematika saat di sampingnya.
Meski dia hanya akan datang jika mengalami kesulitan mengerjakan tugas, tapi batinku tak pernah merasa keberatan. Meski siklus yang terjadi di antara kami hanya berkutat seperti itu, tapi bunga-bunga di hatiku tak kunjung layu. Dialah yang menanam benih-benih cinta di mercu kalbuku, dia pula yang kuharapkan akan menuainya kelak.

Sampai pada kelas dua SMA, kami terpisah karena beda jurusan. Dia lebih menyukai ilmu Sosial, sedangkan aku “dipaksa” menyukai ilmu Sains. Sejak itu, komunikasi kami tak se-intens dulu. Hanya sepatah kata, “Hallo,” yang keluar dari mulut manisnya saat bertemu denganku. Lantas, akan kujawab, “Hai,” dengan kegugupan yang menusuk sampai ke ujung hati.

Kuingat kata pepatah Jawa yang filosofinya tjakep badai itu, Gusti Allah mboten sare. Ya, benar. Hanya Tuhan yang Mahamengetahui segala urusan hamba-Nya, sekalipun urusan itu terselip di sudut hati. 

Oleh karena itu, di saat aku belum bisa mengatakan betapa besarnya rasa cintaku padanya, aku tetap bisa menyampaikannya dalam lantunan doa. Meskipun aku bukan ahli doa yang di setiap munajatku terkabul, namun aku yakin, akan ada kesuksesan atas doa yang tulus.

Singkat cerita, aku pun memiliki keberanian untuk mengajaknya jalan—entah dari mana keberanian itu muncul. Tapi, kata Tante Mariah Carey, “That a hero lies in you.” Kurasa juga begitu. Memang, aku tak menyiapkan apa pun saat itu, kecuali satu hal: mental baja bila saja dia menolakku.

Sepagi itu, saat suasana sekolah masih lengang. Tiba-tiba perutku bermasalah. Kulangkahkan kakiku dengan cepat menuju toilet yang berjarak enam kelas dari kelasku. Tiba-tiba, sosok Mini tengah berdiri di depan cermin toilet sembari merapikan jilbabnya. Tampak mulutnya juga masih sibuk menjawab pertanyaan dari temannya yang berada di dalam toilet.

Hagh, perempuan! Rasanya toilet adalah ruang serba guna bagi mereka. Mulai dari tempat buang air, tempat benerin make-up, sampai tempat curhat, aku membatin heran.

Sembari mematut dirinya di depan cermin kecil, Mini menyapaku dengan suara merdunya, “Hallo.”
Aku tersenyum mendengar suara lembutnya. Bahkan sepagi ini, aku sudah mendapat sarapan termanis sepanjang hidupku.
“Hai,” jawabku sembari menahan “mentega” yang tengah bergemuruh di perutku.

Tiba-tiba wajah Mini mendekati wajahku. Kini, hanya berjarak beberapa senti antara wajahku dan wajahnya. “Apa jilbabku sudah rapi?” tanya Mini sembari menaikkan kedua alisnya.

Aku kaku tak hanya pada bagian muka, tapi pada bagian yang lain. *eh. Lantas, mulutku menyeringai menjawab pertanyaannya, “Ehm…, u-d-a-h. Udah kok!” jawabku patah-patah.

Mini hanya tersenyum seadanya atas jawabanku.

Dalam kesempatan langka ini, kukumpulkan segala tenagaku untuk dua hal: memberanikan diri mengajaknya jalan, dan menahan “mentega” yang sudah tak sabar ingin keluar. “Mini, sebenarnya sudah lama aku ingin menyampaikan hal ini. Tapi…, aku gak berani ngomongin ini sama kamu.” Kutundukkan wajahku di depan rival bicaraku. “Kalau kamu gak keberatan…, ehm…, nanti malam aku mau ngajak kamu jalan, gimana?” Akhirnya kalimat itu keluar juga dari mulutku, kendati dengan tersendat-sendat.

Mini tampak memikirkan sesuatu. Masih diam dalam wajah datarnya yang tetap terlihat cantik.
Aku menggigit bibir bawah dengan gigi kelinciku, sembari menunggu jawaban yang entah kapan akan keluar dari mulut 

Mini. Dengan senyum datar, aku masih menahan perutku supaya tidak mengeluarkannya di dalam celana.

“Gimana?” tanyaku mendesak. Bukan karena tak sabar akan jawabannya, tapi lebih karena perutku yang sudah menahan terlalu lama.

Akhirnya, Mini mangangguk sembari memberikanku senyum termanisnya. Oh, rasanya begitu lega. Aku bergegas menuju toilet untuk bersemayam karena panggilan alam.
_______

Aku tak begitu paham dengan garis pemisah antara hubungan pacaran dan hubungan yang hanya sekadar berteman. Karena garis itu hanya bersifat imajiner, kabur dan buram. Bukankah replika pacaran sudah menjamur di mana-mana, mulai dari teman tapi mesra, hubungan tanpa status, sampai kakak-adekan. Lantas, apa yang menjadi pembeda antara yang pacaran dan yang jomblo? Yah, saya rasa penilaian tersebut lebih bijak jika diserahkan kepada masing-masing pihak yang bersangkutan saja.

Selepas tragedi yang memacu adrenalinku ketika di toilet itu, aku merasa lebih “bebas” berbicara dengan Mini. Rasa canggung dan gugup itu perlahan sirna entah ke mana. Bahkan, aku bisa memilih tempat yang lebih romantis untuk mengungkapkan rasa cintaku, bukan di toilet sekolah seperti saat kemarin. Dan, kami menjadi lebih intens bertemu di luar jam sekolah, mulai dari: makan malam bareng, menikmati weekend bareng, belajar bareng, ke kantin bareng, ngupil bareng, keluar bareng dan hampir semua kegiatan kami lakukan bareng-bareng. *kecuali kegiatan mandi, ya, Guys. :v

Tapi, tanpa kusadari, aku telah terhegemoni oleh Mini. Ada penjajahan secara halus yang menyekapku atas nama pacaran. Aku menjadi tukang ojeknya yang setia setiap saat mengantarkannya ke mana saja; aku menjadi mesin produksi semua PR-nya; aku menjadi ATM berjalan—meski tidak secara terang-terangan; aku menjadi sumber pelampiasan atas kekesalannya dan sikap posesifnya; aku menjadi objek paling salah saat kami bertengkar; aku menjadi tercekik karena setiap saat mendengar omelannya, jika aku membela diri akan ada perang dunia ketiga, dan pasti aku yang akan gugur dalam medan pertempuran dahsyat itu, dan ujung-ujungnya aku hampir gila karena semua ini.

Rasanya jauh panggang dari api. Segala yang dulu kukira indah, justru begitu menakutkan saat ini. Benar saja Firman Tuhan yang mengatakan, “Bisa jadi kau menganggap baik, padahal itu buruk bagimu. Dan, bisa jadi kau menganggap buruk, padahal itu baik bagimu.”

Aku belum punya penghasilan apa pun, namun telah banyak menghabiskan uang orangtuaku atas nama pacaran. Coba aja semua pengeluaran saat pacaran dikumpulkan, mungkin udah bisa nganterin Mamaku ke Bali dengan mengendarai becaknya Mang Nanang. Aku benar-benar telah berlaku tak adil dengan orangtuaku. Aku yang semestinya mengantarkan Mamaku ke pasar, justru setia mengantarkan pacar setiap saat; aku yang semestinya menemani Bapak ngobrol sembari membuatkannya kopi, justru menghabiskan waktuku untuk membuatkan semua tugas pacar; aku yang seharusnya ikut nongkrong bersama teman-temanku, justru fakir waktu untuk mereka; aku yang semestinya ikut meringankan beban orangtuaku dengan membuat lelucon di ruang keluarga, atau hanya sekadar menghidupkan lagu dangdut kesukaan mereka, justru menghabiskan hampir seluruh waktuku bersama pacar. Aku tak pernah ada untuk orang-orang yang semestinya kuprioritaskan. Semua waktuku habis atas nama membahagiakan pacar.

Namun, semua yang telah terjadi, biarlah terjadi. Karena pengalaman di masa lalu tak patut disesali, tetapi patut dipelajari. Satu hal yang kupahami dari pengalamanku kemarin: sumber kebahagiaan bukan dari pacar, tapi dari dalam diriku sendiri. Biar kucoba menemukan kebahagiaan itu di dalam diriku, di dalam kejombloanku. Dan, kini aku mengerti, jomblo bahagia bukanlah mitos belaka. Semua itu benar adanya. I feel free, deh pokoknya. *guling-guling di atas putri malu.

Aku jadi teringat akan pepatah lama yang dengan keras berkoar, “Masa pacaran tidaklah seindah yang dibayangkan para jomblowan.” Dan, aku tengah merasakannya sekarang. Yah, statusku memang jomblo, tapi bukan lantas aku sendirian. Karena, masih ada keluarga, teman-teman dan sahabatku di sini. Jika saja dulu aku merasa cukup dengan kehadiran mereka, tentu aku tidak akan berpikir jika pacar adalah segalanya. Aku terlalu fokus dengan keinginanku, sampai aku lupa dengan kebutuhanku.

Biarlah, untuk saat-saat ini ‘kan kuhabiskan masa remajaku bersama keluargaku, teman-temanku dan sahabat-sahabatku. Soal pacaran? Ah, bulshit. Belum saatnya untuk saat ini. Bukankah kelak kita lebih bangga saat mengatakan, “Dia istriku!”, daripada mengatakan,“Dia pacarku!”, right?! [ ]

Yogyakarta, 14 Mei 2015

Bersikap Netral Bukan Berarti Tak Punya Pendirian



Saya percaya bahwa sebagian besar yang kita jalani dalam hidup ini adalah hasil dari pilihan kita sendiri, terlepas dari gender atau garis keturunan.

Masalah muncul ketika kita tidak bisa mengendalikan pilihan kita, lalu tidak mampu mempertanggunjawabkan pilihan itu. Kita seringkali dikendalikan oleh keadaan, bahkan untuk pilihan kita sendiri. Seringkali, kita sadar bahwa ada yang tidak sejalan dalam diri kita. Kita sering melakukan sesuatu, yang kita sadar betul bahwa itu salah, tapi tetap melakukannya. Seperti, tidak memiliki kendali pada diri sendiri, karena pasrah pada keadaan.

Kita seringkali sulit membedakan antara mampu dan mau, antara tidak sanggup dan enggan.
Salah satu masalah, yang saya amati ketika saya beranjak dewasa adalah betapa mengerikannya sistem pergaulan di kalangan orang-orang yang sudah bukan remaja.

Ketika saya remaja, saya rasa, pembatasan pergaulan tidak se-ekstrim ketika saya kuliah. Setidaknya, setidaksuka apapun seseorang pada kelompok murid tertentu, mereka tetap bisa bekerja sama untuk kepentingan kelas, dan kemudian berdamai setelah sadar bahwa bersatu itu indah.

Masa remaja adalah masa di mana kita melibatkan emosi dan perasaan, sulit dikendalikan memang, tapi, setidaknya, sisa-sisa keluguan dan kesucian masa kecil masih membekas. Setidaknya, remaja masih bisa diajak berpikir menggunakan akal sehat dan hati nurani.

Ketika SMA, teman-teman yang saling tidak suka, akan meluapkan emosinya berlebihan, bertengkar habis-habisan. Tapi setelah diceramahi guru BP, mereka bisa berdamai, bahkan, yang semula diam-diaman, jadi berteman. Segala beban telah tersalurkan, dan tidak ada gengsi berlebihan yang membuat mereka ogah untuk disatukan.

Jauh berbeda dengan pengalaman saya ketika kuliah. Orang-orang berubah jadi makhluk sosial yang sumpah mati tidak saya mengerti sama sekali. Banyak perangai teman-teman saya, yang terus terang silit saya pahami. Mereka keras dengan pendirian mereka, bahkan untuk sesuatu yang jelas salah. Setiap orang menunjukkan keegoisan dan sikap apatisnya masing-masing. Kumpulan mahasiswa yang tiga puluh orang, bisa dipecah menjadi sepuluh kelompok, artinya, ada tiga anggota untuk tiap pecahan. Sadar atau tidak, mereka membentuk kelompok sekecil mungkin, dan membangun pagar setinggi mungkin, yang tak tertembus kelompok lain.

Saya rasa, inilah, miniatur dari dunia yang sebenarnya. Dunia orang-orang dewasa yang sama sekali berbeda dengan dunia remaja, apalagi anak-anak. Di mana setiap orang menunjukkan sikap tidak netral yang ekstrim, sikap pilih-pilih pergaulan yang terang-terangan. Masing-masing punya standar nilai harga mati. Jika mereka tak suka sikap yang begini, mereka tak akan mau berhubungan dengan orang yang sikapnya begitu.

Saya, sebagai seseorang yang baru belajar menjadi orang dewasa, berusaha bersikap senetral mungkin. Tapi masalahnya, orang-orang netral kerap dituduh tidak punya pendirian, penjilat, bahkan pengkhianat. Saya yang baru belajar dewasa tak paham. Memang apa salahnya, berteman dengan semua orang? Toh, saya sendiri yakin bahwa diri saya punya filter, dan semua teman, menurut saya adalah baik. Saya selalu yakin pada orientasi positif saya.

Setiap orang memang berhak memilih, teman-teman saya juga berhak memilih sikap mereka, yang tidak netral, yang punya standar sendiri dalam berteman, yang terkotak-kotak itu. Itu pilihan mereka.

Meski saya mengatakan pada mereka, kita tidak boleh membatasi hubungan sosial, kemudian mereka tahu itu salah (mungkin tanpa diberitahu mereka juga sudah tahu), mereka tak berubah. Karena manusia bisa terjebak dalam pilihan yang dikendalikan arus. Mereka bilang, keadaan yang membuat mereka seperti itu. Keadaan dunia ini, dimana setiap orang harus diwaspadai, dimana masyarakat suka menghakimi kelompok tertentu, dan mereka ikut serta, mengikuti arus.

Jadi, sebagai orang yang sadar, bahwa kita harus punya kuasa terhadap pilihan kita sendiri, saya memilih untuk netral. Ya, tetaplah netral saat yang lain pilih-pilih pergaulan. Tetaplah netral, saat yang lain phobia pada pihak tertentu. Tetaplah netral, saat yang lain mengucilkan kelompok tertentu. Meski orang netral sering dituduh tak berpendirian, biarkan. Karena jika kita terus terpengaruh pendapat orang (yang tidak bermanfaat), maka kita akan terbawa arus, dan pilihan kita akan dikendalikan keadaan.

Jadilah orang yang punya pilihan, punya kendali pada hidup sendiri.

Cepat Belum Tentu Tepat


Lelah?
Sepenggal kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana perasaan yang sedang kurasa. Betapa tidak? Sudah hampir dua tahun lamanya setelah kuliahku selesai, hari-hari yang kujalani masih saja terasa hampa tanpa aktifitas layaknya mereka yang ingin bekerja setelah menamatkan pendidikan sarjananya. Sampai saat ini aku masih belum beruntung mendapatkan itu semua. Berbagai usaha pun telah ku lakukan, setiap doa selalu kuselipkan seusai sujudku pada Sang Rabb, meski begitu aku tak henti-hentinya bersyukur atas kehidupan yang sedang kujalani sekarang. 

Lelah itu aku ganti menjadi Lillah. Perjuangan, rintangan bahkan sampai kesedihan pun kerap mewarnai perjalananku dalam meraih kesuksesan. Keikhlasan terkadang membuatku merelakan sesuatu yang memang tak pernah tertakdir untukku. Kekecewaan hadir membuatku merasa lebih kuat. Aku selalu bertanya pada diri ini kenapa masih bertahan? Mengapa dalam diriku masih ada harapan yang begitu menggebu-gebu? Apa mungkin kesabaranku menjadi faktor utamanya? Sebuah harapan besar masih terbentang untukku.

Perjalananku pun masih panjang. Hingga saat ini belum sempat terbenak kata putus asa dipikiran ini, karena aku sadar jika diriku mulai kehilangan semangat maka buyarlah semua mimpiku selama ini, semua akan sia-sia begitu saja. Aku tidak bisa membayangkan kalau saja kejadian itu terjadi. Bagaimana aku bisa mewujudkan segala mimpi yang mulai kurajut dari dulu, jika aku sendiri tidak bisa meyakinkan diri bahwa aku mampu menaklukkan segala rintangan yang menghadang terlebih aku memiliki orang-orang terdekat yang selalu siap untuk menjadi penyemangat dan siap mendampingiku kala suka dan duka.
Sudah hampir puluhan perusahaan pernah kusisipkan lamaran untuk mengisi posisi yang sedang mereka cari dan siap bersaing dengan ratusan bahkan ribuan pelamar lainnya. Tapi tetap saja, aku masih belum beruntung, seberuntung mereka yang bisa lolos sampai pada tahap akhir, pengalaman pertamaku melamar kerja di akhir tahun 2015. Itulah masa-masa yang tidak pernah terlupakan hingga saat ini. Ada perasaan yang beda ketika aku mulai berbicara seputar pekerjaan itu, artinya aku sudah mulai menuju ke jalan impian untuk menjadi orang sukses. Jujur, aku agak sedikit kaku tiap kali membahas masalah pekerjaan. Maklum, aku masih termasuk kategori newbie dalam dunia mencari pekerjaan. Namun demikian, hal itu sama sekali tidak menjadi masalah bagiku. Malah aku berpikir akan mendapatkan banyak pengalaman baru tentang dunia kerja dari hasil bertukar pikiran dengan yang lebih senior dan sudah berpengalaman dariku.

Berawal dari penghujung tahun itulah, saat ada rekrutmen besar-besaran dari sebuah perusahaan dan termasuk ke salah satu perusahaan besar yang sedang melakukan rekrutmen untuk menjadi calon pegawai di perusahaan tersebut. Ada beberapa posisi yang ditawarkan dan aku memilih posisi yang memang sesuai dengan jurusanku. Dari sinilah menjadi catatan awal aku melamar pekerjaan dan langsung mendapat kesempatan melamar di perusahaan ternama. Aku banyak mencari info sendiri tentang lowongan pekerjaan tersebut. Kalau memang ada hal yang tidak kupahami barulah aku bertanya sama yang sudah berpengalaman. Setelah aku membaca semua persyaratan dengan jelas aku langsung memulai untuk mendaftarkan diri di perusahaan tersebut.

Singkat cerita, sekitar seminggu setelah hari pendaftaran, malamnya aku mendapat pemberitahuan dari handphone dan isinya tentang pengumuman kelulusan administrasi di perusahaan tersebut. Aku pun langsung mengecek link tersebut di internet. Alhamdulillah, ternyata ada terselip namaku didaftar peserta yang lolos administrasi dengan 1000 lebih peserta lainnya yang juga lulus seleksi tahap pertama. Kemudian aku membaca informasi mengenai jadwal tes selanjutnya, yaitu Tes Potensi Akademik (TPA) dan Bahasa Inggris. Ini adalah kali pertamanya aku akan mengikuti tes seleksi masuk kerja. Pastinya banyak hal yang sudah ku persiapkan mulai dari belajar untuk menjawab soal-soal yang akan keluar pada saat tes sampai menyiapkan mental, karena aku tahu peserta lainnya pasti sudah lebih berpengalaman dariku. Setelah mengikuti tes kedua, beberapa hari kemudian langsung pengumuman kelulusannya, karena memang jarak ikut tes dan pengumuman tidak terlalu lama. Alhamdulillah, diseleksi kedua aku dinyatakan lolos. Begitu terus selanjutnya sampai pada akhirnya aku gagal ditahap terakhir, yaitu pada tahap wawancara user.

Perjuanganku yang hanya tinggal selangkah lagi harus terhenti ditahap keempat. Kecewa sih, sudah pasti kurasakan saat itu, namun aku tidak mau berlarut dalam kekecewaan itu. Pikirku sama sekali tidak ada gunanya menyesali apa yang telah terjadi. Yang di dalam benak, aku harus bangkit dari keterpurukan ini. Takdir rejekiku bukanlah di sini, tapi aku yakin suatu saat aku bisa mendapatkan yang lebih baik dari itu. Aku menguatkan diriku sendiri dan bersyukur, orang tua dan keluarga juga tidak putus memberikan dukungan moril yang memang sangat aku butuhkan saat itu.

Beranjak dari kegagalanku di saat pertama kalinya melamar pekerjaan dan nyaris saja diterima, bukanlah menjadi akhir dari segalanya. Kegagalan itu telah banyak mengajariku hal yang sebelumnya memang belum pernah kudapatkan, yaitu sebuah pengalaman yang memang sangat berharga, yang tidak pernah ku ketahui sebelumnya. Gagal di perusahaan tersebut, aku berniat harus lulus di perusahaan lain yang jauh lebih baik lagi.

Kegagalanku di perusahaan besar itu tidak serta merta membuat nyaliku menciut untuk selanjutnya aku tidak akan melamar lagi di perusahaan-perusahaan besar, karena takut kejadian lalu bakal terulang. Tidak. Sama sekali tidak. Itu bukanlah aku. Jelas sangat jauh dari tipe diriku. Yang harus aku lakukan sekarang adalah bagaimana aku menjadi yang terbaik dari terbaik lainnya, agar nantinya aku pantas bergabung dengan perusahaan yang memang hebat dengan kemampuan yang kumiliki. Itu bisa saja terwujud, tidak lain adalah dengan cara membenahi diri dan memantaskannya agar aku bisa berada ditempat terbaik dengan posisi terbaik pula.

Salah satu hal yang kulakukan saat ini untuk memantaskan diri adalah bagaimana caranya aku menjadi pribadi yang mempunyai jiwa sosial tinggi dan paham teknik berkomunikasi terutama berkomunikasi dalam organisasi. Menurutku, ini akan menjadi hal yang terpenting ketika aku sudah bekerja nantinya. Komunikasi memang terlihat sederhana, namun sebenarnya teramat penting dalam kehidupan sosial ini. Begitu banyak orang gagal paham dan salah persepsi hanya karena komunikasi. Ini adalah sedikit dari banyaknya hal penting yang harus aku persiapkan dalam hidup ini untuk memantaskan diri. Perubahan zaman dan perkembangan teknologi sekarang telah menuntut setiap individu untuk terus berkembang dan memiliki wawasan yang luas. Terlepas ingin mengikuti atau tidak, itu terserah karena perubahan yang sebenarnya itu dimulai dari diri sendiri bukan dari orang lain. 

Kegagalan yang telah kualami, sama sekali tidak mampu menurunkan standarku yang telah kutetapkan ketika masih kuliah dulu. Dengan kegagalan ini malah memotivasiku untuk ingin menambah dan terus menambah kemampuanku dengan seiring berjalannya waktu. Aku yang baru saja menyandang gelar sarjana tidak memungkiri perlu banyak berbenah, memantaskan diri untuk mendapat yang tepat bukan yang cepat. Aku sadar harus terus menggiatkan diri lebih ekstra, demi sebuah perubahan besar dalam hidup ini. Aku tidak boleh terus berdiam diri tanpa ada aksi, kalau memang ingin berubah aku harus mengasah potensi yang sudah kumiliki agar lebih mumpuni dan terus menggali apa yang belum kumiliki untuk pengembangan diri.

Berjuang lebih keras akan kulakukan tanpa peduli sebesar apapun pengorbanannya, yang penting aku bisa menjadi yang terbaik. Setelah semua usaha dan doa kulakukan, selebihnya aku akan mengikuti garis takdir yang telah Tuhan tetapkan untukku. Aku yakin tiada proses yang mengkhianati hasil dan aku yakin apa yang diberikan oleh-Nya itulah yang terbaik bagiku.

Semua yang telah kulakukan untuk menjadi yang lebih baik pasti akan ada hasil yang sebanding dengan usaha yang ku lakukan. Namun, itu semua akan datang pada waktunya sendiri dan seandainya belum juga ada hasil dari jerih payah ku selama ini, aku yakin ini hanya masalah waktu. Datang di waktu cepat atau di waktu yang tepat? Karena bagiku tidak ada kata terlambat, tapi terkadang memang belum waktunya. Mungkin dari lamanya proses penantian ini, aku dapat satu lagi pelajaran berharga jika suatu saat nanti aku mendapatkan pekerjaan, pastinya aku akan lebih menghargai dan loyal terhadap pekerjaanku karena aku tahu untuk mendapatkannya tidaklah mudah dan membutuhkan proses panjang dan penuh perjuangan.

Dan pada akhirnya, ketika semua proses panjang yang telah kujalani dalam memantaskan diri, yang diawali dengan sebuah tekad kuat dan berakhir dengan hasil yang mantap, di saat itu pula aku sudah siap untuk mendapatkan yang tepat bukan yang cepat.

Tuesday, February 21, 2017

Jangan Berjanji Apabila Akhirnya Tak Kau Tepati


Apakah ini yang kau janjikan padaku dulu ? sebuah kepercayaan yang kau genggam dan kau tunjukkan padaku, yang kau jamin tidak akan pernah kau rusak demi hubungan kita yang sudah mulai mengabur ini.

Jujur kukatakan, semakin hati ini kau sakiti semakin aku mulai lupa akan rasa cinta yang dulumenggebu-gebu ketika aku sedang bersamamu, tidak ada lagi rasa nyaman yang bisa kutemukan. tidak ada lagi rasa bahagia yang kuperoleh seperti saat dulu kita bersama, yang muncul hanyalah perasaan aneh yang menuntun kakiku untuk mundur saat aku sedang berhadapan denganmu.

Sudah cukup hati ini kau gores dengan begitu dalam.cukup kepingan rasa yang tersisa ini kau injak hingga terbang entah kemana, begitu tegakah kau membanting keras pintu hatiku hingga ia enggan lagi terbuka untukmu.

Tidak sadarkah kau apa yang sudah terjadi hingga kini aku pun memilih memalingkan wajah ketika kau tersenyum?

Seringkali aku berdiri di 1 sisi dan mencoba merangkai kembali kenangan masa lalu kita yang manis agar membuatku kembali tegar untuk meraih tanganmu, tetapi kepingan rasa sakit yang begitu tajam kembali datang dan menggores semua kenangan danmenghancurkannya 1 per 1 hingga akupun tidak sempat lagi menyelamatkannya.

Haruskah aku melepaskanmu ataukah aku harus mempertahankan dirimu di sisiku? Apakah kau akan lebih bahagia jika aku melepasmu agar kau bisa berjalan menuju hati yang lebih ingin kau jaga daripada aku?

Aku mulai belajar hidup tanpa ada lagi bayanganmu di hari-hariku, mencoba melupakanmu sejenak dan kemudian mencoba melupakanmu lebih banyak.karena pada akhirnya kau juga akan pergi dari sisiku. Tidak ada salahnya aku membuat perisai pada awalnya agar aku bisa bertahan dan tidak goyah saat badai datang nanti. Tapi pada akhirnya aku pun tetap akn menyalahkanmu.

Maafkan aku yang terlalu mencintaimu hingga tanpa sadar mengekangmu begitu erat, tanpa tahu bahwa hatimu sudah menemukan pelabuhan lain sementara aku sibuk membangun geladak untuk hatiku dan hatimu

Tapi bukankah seharusnya kau terlebih dahulu memberiku kode agar aku mengerti dan berhenti membangun sesuatu yang sia-sia dan tidak berguna pada akhirnya. Bukan kah begitu lebih baik?

Aku mulai terbiasa tidak menanggapi semua janji2mu yang kuatu hanya akan menyeretku ke penderitaan yang lebih dalam. Yang berjanjipun belumlah tentu menepati. Bagaimana bisa yang mendengar janji percaya dan membangun ruang kosong untuk sang janji itu sendiri datang ? 

Dan aku menyadari betapa bodohnya aku pada akhirnya, dan pada titik ini, aku mencoba untuk menertawakan diri sendiri.

Lepaskanlah burung-burungmu agar terbang tinggi. Tidak perlu takut kehilangannya, karena yang terbaik akan kembali pulang. Jika ia bukan yang terbaik, maka aku tidak akan tetap memaksanya untuk tetap di dalam sangkar. Dan percayalah 1 hal: apapun yang kulakukan, itu adalah yang terbaik untukmu.

Pesan Tertulis Untuk Pengisi Kisah Masa Laluku



Sebuah buku tidak akan lengkap tanpa ada sentuhan tinta pada halaman di setiap lembaran kertas kosongnya. Seperti kehidupan yang tidak akan lengkap tanpa ada kisah masa lalu yang membuat seseorang tersenyum manis akan kenangan yang terukir di lembaran kehidupan.

Dia pernah menjadi seseorang terbaik .

Dia pernah menjadi bahu untuk bersandar ketika ku tak mampu berdiri tegak.

Dia pernah menjadi sosok pelawak di saat sedihku menghampiri.

Dia pernah menjadi hujan yang menghapus air mata ini ketika mengucur karena suatu alasan.

Dia membuat senyum ini tersungging ketika jari kecilnya menyentuh hidung ku yang membuatku tersipu.

Dia menjadikan tawa ini pecah dengan tebakan nya yang konyol.

Dia yang dulu selalu ada dikala gelisah ini mendatangi.

Dia yang memberikan solusi terbaik untuk semua masalah
.
Dia yang memberikan kegembiraan ketika kami berlibur bersama dengan tingkah kekanak-kanakan kami.

Dia yang sempat menjanjikan impian indah ketika bersama di pelaminan.

Dia yang mengajak halusinasi bersama dalam mengasuh anak-anak yang lahir dari darah daging kami.

Tapi semua itu belum terjadi dalam kehidupan kami. Kami dipertemukan bukan untuk bersanding bersama dalam menjalani sisa hidup, tetapi kami ditakdirkan untuk melukis indah kenangan dalam lembaran kisah masa lalu kami. Tak ada lagi "kita" di dalam kisah kami. Impian dan halusinasi bersama yang harus dikikis kembali. Sementara hati ini masih begitu erat saling berpegang isyarat untuk tidak ingin berpisah.

Terimakasih untuk menjadi bagian dari kehidupan ku. Terimakasih untuk sempat menjalani masa-masa indah bersamaku. Terima kasih untuk menjadi salah satu pemeran utama dalam novel cinta kehidupanku. Kita tidak akan pernah tahu, perpisahan ini untuk sementara atau selamanya.  Apakah akan berakhir dengan aku dan suamiku dengan anak-anakku, kamu dengan istri dan anak-anakmu. 

Atau berakhir indah ketika kita berjalan bersama menggandeng anak-anak kita.

Karena kita bisa memaknai ini semua ketika kita bertemu nanti, entah kapan saatnya.

Untukmu yang Sedang Aku Perjuangkan, Tunggu Aku Datangi Keluargamu



Tak terasa, hampir 6 tahun kita jalani ini semua bersama. Aku ingat pertama kali aku mengenalmu, kau tampak sedikit pemalu tetapi anggun. Kau tampak berbeda dari kebanyakan wanita di luar sana, tapi itu malah membuatku semakin mengagumimu.
Aku menyadari segala kekurangan yang ada pada diriku hingga aku tak berani menyampaikan perasaanku padamu.

Seperti yang kau tahu, aku memiliki latar belakang keluarga yang kurang beruntung, 'Broken Home' mereka menyebutnya. Kau menggantikan banyak peran dalam hidupku, kau menjadi Ibu, Ayah, Sahabat, Teman Baik, dan segala yang tidak aku miliki.
Kau begitu berarti untukku.
Kita pernah mengalami LDR karena kita memilih perguruan tinggi yang berbeda. Hal ini tidak menjadikan kita semakin jauh, tapi semakin dekat. Banyak hal baru yang saling kita ceritakan, itu semakin membuat aku terkagum akan sosok dirimu. Kau memberi banyak warna baru di hidupku, kau memberi berjuta memori yang kurekam jelas dalam ingatanku. 
Jika orang bertanya kepadaku "Apa kata yang paling menggambarkan dirimu?", maka aku akan menjawab "Mentari". Ya, kau adalah Mentari yang menyinari setiap langkahku. Kau tak pernah lelah, kau tak pernah mengeluh, terima kasih.
Kini, aku berharap semoga tuhan menyatukan kita dalam ikatan suci pernikahan. Aku tau dengan jelas bahwa menikah itu bukan sesuatu yang mudah, tapi izinkan aku untuk mencoba meniti masa depan untukmu. Izinkan aku berjuang melawan semua laki-laki mapan yang ingin meminangmu. Izinkan aku untuk berjuang lebih keras. Izinkan.
Aku berharap, kamu yakin dengan semua yang aku rencanakan, membantu aku menyiapkan masa depan, masa depan kita berdua. 

Aku mohon, tunggu aku, tunggu aku mendatangi keluargamu, hingga kita bisa tersenyum bersama, tersenyum hingga maut memisahkan kita.

Untuk Sosok Ayah yang Telah Lama Pergi, Andai Saja Kata-kata Cintaku Ini Dapat Membuatmu Kembali




Ada kalanya aku ingin bertemu denganmu, memelukmu, merasakan hangatnya dekapanmu, mendengar nasehatmu, melihat senyummu, merasakan amarahmu, melihat sikap kerasmu.
Karena apa? Karena aku tidak pernah merasakan itu selama ini. Semau hal tentang mu hanya bisa ku dengar dari cerita-cerita mereka. Seandainya Tuhan memberikan satu hari untuk ku bersamamu, aku hanya ingin menyampaikan kata-kata cinta ku ini pada mu ayah. Aku harap Ayah bisa bahagia mendengarkannya.

1. Ayah, aku bahagia saat kita bermain masak-masakan di ruang tamu dekat lemari, tapi bolehkah kita mengulangnya walau hanya sekali saja?



Tak banyak kenangan bersama Ayah yang tinggal di memoriku. Tapi Tuhan itu sangat baik padaku Ayah, Dia menyisakan satu kenangan ini di memoriku. Bermain masak-masakan dengan mu adalah kegiatan yang selalu aku tunggu setiap malam waktu itu. Aku ingat terakhir kita ermain masak-masakan, aku memasak mie instan buat Ayah.
Bolehkah aku memasak lagi buat mu Ayah?

2. Ayah aku tahu, diam-diam Ayah selalu memperhatikanku dan memelukku saat aku terlelap dalam tidurku



Walau kita sekarang di dunia yang berbeda, tapi aku tahu pasti saat aku menangis, engkau datang menghapus air mata ku dengan kelembutan cinta mu.
Saat aku putus asa dan ingin menyerah, engkau datang memegang tanganku dan membisikkan kata-kata semangat di telingaku.
Saat aku disakiti oleh dunia, engkau datang menyakinkan ku bahwa ada seeorang yang gak akn pernah menyakiti ku yaitu Ayah

3. Ayah, apakah kamu tahu kalau aku sering membicarakan mu pada Tuhan dalam doa ku?




Ayah..
aku gak pernah menyalahkan siapapun karena ayah terlalu cepat meninggalkan ku
aku gak pernah menyalahkan keadaan maupun Tuhan
aku malah meminta pada Tuhan biar menjaga Ayah di sisi-Nya,memberikan tempat terindah di kerajaan-Nya
Dalam doa ku aku selalu bercerita kepada Tuhan tentang rasa rindu ku pada Ayah, dan aku yakin Tuhan telah menyampaikan semuanya pada Ayah
karena aku percaya Ayah telah bahagia bersama Tuhan

4. Ayah, Walau kita tidak banyak memiliki moment indah bersama tapi bagiku Ayah adalah cinta pertama ku dan akan abadi selamanya



Ayah memang tak mengajariku berjalan, bermain sepeda, tak mengantarkan ku saat pertama kali masuk sekolah, tak ada di samping saat aku wisuda, dan tak memarahi ku saat aku berbuat salah.
Bukan karena Ayah tak mau, tapi waktulah yang gak memberika kesempatan buat Ayah untuk melakukan itu.
Tapi waktu yang singkat itu cukup membuktikan kalau Ayah adalah pria terbaik yang dikirimkan Tuhan buat aku

5. Ayah, setiap aku datang ke tempat ini tanpa sadar air mata ku jatuh, tapi asal Ayah tahu itu bukan air mata kesedihan tapi itu adalah air mata kerinduan



Rindu yang teramat dalam yang kurasakan pada mu Ayah, tidak bisa lagi disampaikan lewat kata-kata.
Mungkin hanya bisa dijelaskan dengan air mata ini
Tapi hanya tak ingin terlihat lemah, aku berusaha menahan air mata ini dengan senyuman

6. Walau fotomu telah usang, tapi cintaku padamu tak akan pernah usang dan akan selalu abadi




Ayah…
Foto ini memang telah usang karena sudah terlalu lama, tapi cinta ini tak mungkin usang.
foto ini adalah satu-satunya yang tertinggal, dengan foto ini aku bisa melihat senyum mu yang manis itu Ayah
melalui foto ini, aku bisa melihat betapa gantengnya dirimu ayah

7. Ayah, 21 tahun telah berlalu tanpa kehadiran mu, tapi rinduku tak berkurang sedikitpun dimakan waktu



Seandainya ada waktu sedikit saja bertemu dengan mu dan walau itu hanya dalam mimpi, aku hanya ingin memelukmu dan merasakan hangatnya dekapan mu Ayah
Ayah…
aku sangat mencintaimu meski aku tak pernah mengatakan langsung padamu Ayah
Love you so much, Dad.


Perjuangan Cinta yang Tak Terlupakan



Telah 8 bulan aku mengenal dirimu, Mr. Cinta. Aku tak dapat pungkiri bahwa sebelum kita saling diperkenalkan pada seorang sahabat, aku sudah mencintaimu sejak lama, menunggumu bahkan mengharapkanmu untuk curi pandang ingin berkenalan. Namun 8 bulan yang lalu, kita saling mengenal bahkan lebih dari itu.

Mr. Cinta, tahukah kamu, aku mencintaimu lebih dari aku mencintai diriku sendiri, aku berkorban dalam sebuah pengharapan yang tak tahu sampai kapan aku menanti? Tahukah kamu aku menunggumu dari tirai cinta yang belum dapat kau buka sepenuhnya sampai saat ini, aku tahu tirai itu adalah hatimu. Tirai cinta itu adalah jiwa yang selama ini kamu jaga, entah untuk siapa yang kau sandarkan pada wanita idaman, mungkin aku tak seperfect yang kau inginkan, namun aku dapat memberikan apa yang kamu butuhkan, bahkan selalu ada saat engkau resah, gelisah, kegalauan, aku siap mendengar ceritamu, tentang mimpimu, tentang masa lalumu bahkan segala keluh kesah dirimu. Aku ingin meyakinimu, bahwa aku tetap ada dihatimu walau suatu saat nanti kau memilih yang lain

Terkadang aku tak memperdulikan siapa yang datang dan yang pergi, yang aku kagumi adalah siapa yang mempertahankan diriku, bahkan siapa yang mempertahankan dirimu, yaitu aku. Sering kali pertengkaran dalam hubungan kita, entah hubungan apa yang kita jalani selama 8 bulan ini. Walau tak ada status, namun aku rasa, kita seperti lebih dari seorang yang bersahabat, bahkan hati aku dan jiwaku masih terikat padamu, tak perduli engkau masih mencintai masa lalumu, atau yang baru. Yang jelas aku sayang padamu, titik. Kau balas ataupun tak terbalas, aku akan tetap mencintaimu. Setiap kali bertengkar, selalu ada kata maaf dan memaafkan, dan saat itulah, kita selalu menyapa walau dalam diam, dan jarak memisahkan.

Tahukah kamu, semakin engkau jauh, aku merasa hati ini semakin dekat, jiwa ini semakin terisi, pada angan yang sulit aku kendalikan, setiap melangkah, hanya ada bayanganmu? Setiap aku berada disuatu tempat, seakan engkau menemaniku, entah itu hanya imajinasiku yang berlebihan, atau kenyataan engkaupun memiliki perasaan yang sama.

Selama 8 bulan aku memperjuangkanmu, memberikan perhatian yang tak kenal lelah, memberikan situasi yang sehangat mungkin saat berbincang, bercanda, pertemuan, tatapan, bahkan keromantisan. Apakah perjuanganku selama ini terabaikan? Namun aku tak tahu? Karena nyatanya, kita masih tetap dingin.

Aku ingin sekali saja, berfikir dengan logikaku, tanpa perasaanku. Mungkin hasilnya tak akan seperti ini. Terkadang kita sebagai wanita selalu berfikir dengan hati, fokus pada perasaan dan logika berkata beda, maka pernah ada kata “cinta tak ada logika” padahal ketika kita bermain logika, perasaan akan tertutup. Itulah yang harusnya dilakukan, agar tak lagi sakit hati dan tak lagi ada harapan palsu yang terikat.

Logika ini akan terus berjuang, hati ini akan terus bertahan. Aku yakin, Allah akan membahagiakan hubungan kita, walaupun dengan siapa engkau akan menikah dan dengan siapapun aku akan bersanding. Jauh dalam lubuk hatiku, aku akan tetap mencintaimu. Aku tak dapat mengungkapkan cinta ini melalui lidahku, bahkan mulut yang terbungkam bisu. Aku hanya dapat menulis, karena aku yakin. Tanganku lebih mudah mengerti hatiku, dan tak pernah berbohong, sedangkan lidah, tak selamanya jujur. Mungkin aku terlalu menjaga imageku yang berlebihan, terbiasa malu dan lugu. Aku memang sering bercanda, sulit untuk serius, namun akupun bisa menjadi wanita romantis yang memberikan sekuntum bunga mawar merah padamu dan ijinkan aku yang membuang durinya, agar tak sedikitpun kau tertusuk kesakitan, karena aku tak ingin menyakitimu seperti mantan kekasihmu yang menyia nyiakan cintamu.

Kau bangga saat banyak yang menyukai, namun kau tak memandang siapa yang mempertahankanmu saat ini. Bahkan kau tak menyapa siapa yang selama ini hatinya tersenyum dalam kediaman menatapmu dibalik punggung, mensuportmu dari kejauhan, membaca hatimu saat berbicara, tersenyum saat kau diam, dan terpaku saat kau datang, bahkan berteriak bahagia saat kau menyatakan sayang padaku hingga berakhir dengan namamu yang selalu tercibir dqalam doaku.
Dadaku sakit saat engkau mengatakan itu, aku sesak saat kita semakin dekat, apa yang terjadi? akankah ini pembuktian bahwa dunia ini adalah bukan milik kita. Ataukah kita tercipta bukan untuk dipersatukan, hanya untuk saling mengagumi, saling menilai, saling dekat hanya sebatas persaudaraan. Jauh dilubuk hatiku yang paling dalam, kau adalah pujaanku yang selama ini aku tanyakan pada Allah, aku tunggu sebelum aku mengenalmu.

Mr. Cinta, tataplah mataku saat aku diam, bacalah kataku dalam lidah yang terus bersandiwara dalam drama kebohongan, mungkin aku wanita yang hanya ingin dicintai oleh orang yang aku cintai, akupun mengerti situasi apa yang kau rasa saat ini. Bimbang untuk memilih atau belum menemukan cinta sejati yang kau impikan. Janganlah sombong pada kesempurnaan fisik, karena itu akan menjauhkan dirimu pada jodoh. Menjauhkan dirimu pada satu cinta yang tulus dengan keinginan yang sempurna. Kau tahu, di dunia ini tak ada cinta yang sempurna, itu hanya milik Allah semata.

Aku berjanji, senyuman ini akan selalu untukmu, Mr. Cinta. Aku akan tetap mendukungmu segala keinginan. Yang terpenting, berbahagialah kamu, dan tak perlu merasa tak enak hati akan kebaikanku dan perjuangan tulusku saat ini, aku itu apa adanya dan sesederhana mungkin bahkan banyak kekurangan. Hanya kamulah yang terus mewarnai setiap hariku, tak ada hari tanpa aku merindukanmu, aku terus menunggu entah sampai kapan waktu Allah yang menjelma keinginan menjadi kenyataan, atau menjadi keikhlasan dalam harapan yang bukan pada tujuan.