Saturday, June 17, 2017

Bapak, Ibu. Lebaran Nanti Aku Pasti Pulang. Meskipun Ramadan Ini Masih Harus Berjuang di Perantauan


Sampai kapanpun dan sejauh apapun kamu merantau rumah adalah tujuanmu untuk kembali.
Tapi sebelum waktu kembali ke rumah itu tiba. Kamu harus mengumpulkan pengalaman demi pengalaman terlebih dulu. Pengalaman yang lebih banyak datang dari kesukaran daripada kesenangan. Mulai dari yang sederhana seperti rasa kesepian saat temanmu sibuk dengan urusan masing-masing sementara kamu jatuh sakit. Sampai urusan finansial, mengharuskan anak rantau pintar mengelola pengeluaran kalau tak mau kekurangan uang. Pokoknya jangan sampai deh coba-coba sama yang namanya ngutang.
Belum lagi cobaan seperti saat hari-hari penting tiba. Entah hari ulang tahun salah satu anggota keluargamu, atau hari-hari di mana setiap waktu pasti akan selalu ada berkah seperti Ramadan. Bayangan rumah beserta isinya entah kenapa membuat hari-hari itu terasa lebih berat untuk dilalui. Padahal Ramadan sendiri di manapun selalu sama, dinanti dengan keantusiasan penuh.

Ramadan di mana-mana selalu sama. Tapi di kos tetap saja terasa beda karena kamu akan lebih sering sendirian saja



Bukan cuma iklan berembel-embel Ramdan, atau acara televisi seperti sinetron yang bertajuk religi saja. Tapi antusias setiap orangnya entah di kota besar atau kecil juga yang membuat Ramdhan di mana-mana selalu sama. Di pinggir jalan-jalan itu pasti penuh dengan orang-orang menjajakan beragam es buah, camilan ringan, sampai makanan utama untuk bukaan. Belum lagi pengeras suara di surau yang jadi lebih sering ramai, seperti jamaahnya. Di mana-mana sama Ramdan sama saja, selalu menyenangkan.
Tapi, buatmu yang tinggal di kos dan jauh dari keluarga. Ramdan kali ini tetap saja berbeda. Di kos biarpun penghuni setiap kamarnya ada, tetap saja rasa-rasa sendiri tak bisa kamu dihindari. Ada kalanya teman-teman kosmu ini sudah punya acara masing-masing di luar sana, atau memang mereka sedang ingin sendiri juga. Sementara di rumah, biarpun dari pagi sampai sore sibuk sendiri-sendiri, tetap saja waktu berbuka puasa akan kumpul di meja makan.

Di rumah nggak perlu bingung mau sahur dan buka pakai apa. Tapi di kos semua tergantung uang yang kamu punya


Belum lagi soal makan. Di rumah saat puasa tiba entah kenapa menunya jadi lebih beragam, dan kadang terbilang cukup mewah. Kamu sendiri pasti nggak akan bingung mau sahur atau buka pakai apa. Bahkan saat ingin makan sesuatu, kamu bisa tinggal meminta ke orang rumah. Sementara di kos, mau beli makan untuk sahur dan buka harus lebih dulu mempertimbangkan uang yang kamu punya.
Mau buka puasa pakai es campur dan nasi padang, tapi uangnya cuma cukup buat beli lalapan. Kalaupun maksa mau buat beli, nanti sahurnya pakai apa. Besoknya juga buka lagi pakai apa. Duh, anak kos-kosan.

Di rumah juga tak perlu khawatir telat bangun sahur. Tapi di kos, apa iya kamu bisa bangun tepat waktu?


Dan hal yang paling krusial lagi, ada momen sahur. Di rumah kamu bisa tidur nyenyak tanpa perlu khawatir telat bangun sahur. Karena pasti selalu ada ibu, ayah, adik, kakak yang siap membangunkanmu. Kalaupun kalian sekeluarga telat bangun, nggak perlu juga bingung mau makan apa. Mengingat di rumah pasti ada makanan penyelamat di detik-detik menjelang imsak. Tapi kalau di kos, siapa bilang nggak ada yang bisa bangunin kamu?
Selama ponselmu terus menyala, kamu nggak perlu takut kesiangan. Karena orangtua atau saudaramu bisa membangunkanmu lewat telepon. Kalau sekali di telepon tak juga bangun, kan bisa dicoba berkali-kali. Apalagi kalau kamu dan keluargamu memakai IM3 Ooredoo sebagai operator teleponnya. Urusan telepon menelepon jadi lebih ramah di kantong dengan Freedom Combo yang menyediakan dua keuntungan sekaligus, dan salah satunya telepon 1 rupiah per detik ini. Apps Tanpa Kuota dan Rp 1-nya akan bikin kamu betah berlama-lama telepon sampai kuping panas!
Kabar baiknya lagi, telepon 1 rupiah per detik ini pun berlaku ke semua operator sepanjang hari. Nggak ada lagi tuh yang namanya kalimat, “Malas ah mau telepon, abis operatornya beda sih!”Jadi setelah sahur, lanjut telepon sama keluarga nggak perlu khawatir pulsa habis, ‘kan?!

Di rumah yang jelas pasti akan selalu ada dan tawa saat menunggu waktu imsak atau buka, sementara di kos apa iya kamu bisa merasakan hadirnya keluarga?


Iya suasana di rumah saat Ramdan memang selalu spesial. Ada kalaunya kamu rindu suara Ibu saat bertanya, “Nak kamu mau buka pakai apa?” atau suara Ayah saat membangunkanmu untuk sahur dan saat beliau sedang mengaji. Belum lagi Kakak atau Adikmu yang sering bawel mengajakmu tarawih berbarengan. Duh, rasanya ingin segera pulang ke rumah demi merasakan kehadiran mereka.

Kebayangkan buka puasa masih tetap bisa menatap wajah ibu, bapak serta saudara-saudaramu. Sepanjang hari bisa terus chat dengan mereka tanpa perlu khawatir dengan kuota. Pastinya rasa-rasa sepi di perantauan saat Ramadan tak terasa lagi.
Ayah, Ibu. Tunggu aku pulang ya. Aku hanya perlu bertahan sebentar lagi di perantauan. Menghitung mundur hari Lebaran juga tak terasa lama, kok. 

Hai Anak Muda, Selupanya Dirimu Jangan Pernah Melupakan Ibumu


Sebelum aku terlahir ke dunia ini, Tuhan mengirimkan seorang malaikat yang akan mengantarkan dan menemaniku selama di dunia. Sebelum aku menghirup udara di bumi, terlebih dulu aku menghirup udara di sebuah tempat di dalam tubuh malaikatku, rahim nama tempatnya. Tempat yang nyaman, tenteram, dan jauh dari dosa. Tapi tetap saja aku begitu penasaran dengan dunia di luar rahim.
Aku ingin rasanya segera keluar dari tempat yang dinamakan rahim ini. Namun, malaikatku pernah cerita bahwa beliau takut sebenarnya melahirkanku ke dunia ini. Kata beliau, “Dunia akan lebih kejam nak daripada yang kau kira. Aku takut jika tak bisa menjadikanmu soleha. Tapi dirimu adalah anugerah yang dikirimkan Tuhan padaku".
"Semoga aku bisa menjaga dan merawatmu hingga kau tumbuh menjadi gadis yang soleha”. Itulah malaikatku. Penuh kebaikan hati bak berlian. Rasanya aku tak sabar untuk segera terlahir ke dunia ini dan bertemunya. Dan akhirnya, sampailah pada saat kelahiranku datang. Aku terlahir ke dunia ini dengan penuh pengorbanan malaikatku. Dan kini kutahu siapa malaikatku itu, dia lah Ibu. Nama terindah di dunia ini. Begitu bahagianya diriku bisa memiliki, memeluk, dan melihat wajahnya. Seiring berjalan waktu, Ibu telah merawat dan membesarkanku hingga kini aku beranjak dewasa.
Namun, setiap melihat tetesan keringat kerja kerasmu merawatku, tersirat pertanyaan yang ingin kuajukan padamu…
Ibu, sempat aku terpikir, sudah kah diriku membuatmu bangga? Ibu selalu menjadi kebanggaan buatku. Tapi, apakah aku kebanggaan buat ibu? Kuingin ibu tahu, apapun yang aku lakukan hanya untuk membuatmu bangga karena telah melahirkanku ke dunia ini.
Ibu, seringkali diriku membuatmu sedih, kesal, kecewa, dan marah, tapi dirimu kenapa tak menampakkan kekesalanmu itu padaku bu? Hanya tersenyum dan memberiku nasihat. Kuingin ibu tahu, bahwa ibu adalah malaikat tanpa sayapku yang dikirimkan Tuhan untukku sejak sebelum aku dilahirkan.
Ibu, rasanya ingin segera aku menggantikanmu mencari nafkah. Sejak aku kecil, ibu sudah menjadi ayah dan ibu sekaligus buatku. Bukan hal yang tak mudah. Mungkin, jika orang lain sudah berputus asa, tapi tidak bagi dirimu ibu. Setiap ibu usai kerja, ibu masih saja menyiratkan senyuman termanis di wajah untuk menyambut anakmu ini di rumah. Namun ku tahu bu, rasa capek yang luar biasa yang selalu ibu rasakan selepas kerja. Lagi, ibu tak pernah mengeluh dan menampakkannya ke anakmu ini. Begitu sakitnya diriku yang tak bisa berbagi keletihanmu itu, tak bisa mendengar keluh kesahmu.
Ibu, jika ada kata lebih dari terima kasih, kan kuberikan hanya untukmu..
Ibu, terima kasih telah menjadi malaikatku sejak masih dalam kandungan. Jika kelahiranku menjadi anugerah buatmu, begitu pula dengan kehadiranmu juga menjadi anugerah terindah buatku. Ibu, terima kasih atas perjuangan dan kebaikan yang kau telah beri selama ini. Kebaikanmu sama halnya bintang di langit yang tak bisa kuhitung. Hanya doa, doa, dan doa yang terbaik yang selalu kupanjatkan untukmu.
Ibu, jika di dunia ini orang berlomba-lomba mencari harta yang melimpah, tidak bagiku ibu. Dirimu adalah hartaku yang paling berharga dan tak ternilai. Kehilangan uang, permata, berlian, emas, dan sebagainya bisa dicari gantinya. Namun, kehilanganmu ibu? Sama saja aku kehilangan separuh nyawaku.
Ibu, jika di dunia ini pula banyak orang mengidolakan artis, tidak bagiku. Ibu tahu aku mengidolakan siapa? Bahkan presiden pun tak bisa mengalahkan idolaku yang satu ini. Ya, Ibu adalah idolaku. Aku berharap, kelak dapat menjadi sosok ibu bagi anak-anakku seperti Ibuku. Ibu adalah Idolaku sepanjang masa.
Ibu, diriku selalu berdoa pada Tuhan agar dirimu sehat selalu dan diberi umur yang panjang. Aku ingin ibu menemaniku lebih lama. Aku ingin ibu melihatku sukses, menikah, dan memberikan cucu buat ibu. Aku tidak pernah terpikir jika kelak ditinggal ibu untuk selamanya. Memikirkannya saja sudah membuatku menangis bu. Bukan aku ingin menentang takdir Tuhan bu, hanya saja aku tak sekuat hati ibu. Aku yakin akan rapuh jika harus kehilanganmu ibu. Aku tak punya siapa-siapa lagi selain dirimu. Biarkan Tuhan yang tahu saat yang tepat untuk memanggilmu.
Ibu, Ibu, Ibu, aku sangat bangga memanggil namamu. Aku sangat berharap dapat memanggilmu terus dengan nama itu. Ibu harus selalu tersenyum dan bahagia, hingga Tuhan memanggilmu dan mengakhiri tugasmu menjadi malaikatku. Walaupun kelak dunia kita berbeda, tapi ibu akan selalu menjadi malaikat tanpa sayapku, hari ini, esok, dan selamanya.

Saturday, June 10, 2017

Jika Kamu Mendewakan IPK Tinggi, Renungkanlah 15 Pertanyaan Ini



Saat yudisium tiba, tidak ada yang lebih penting buat mahasiswa selain nilai. Tiap mahasiswa pasti penasaran dengan indeks prestasi komulatif yang diperolehnya.

Sangking penasarannya, banyak mahasiswa yang begadang sampai jam 00.00 supaya segera lihat nilainya. Gagal loading, coba lagi. Gagal lagi, coba lagi.

Perasaan senang hinggap kalau IPK kita  cumlaude. Dengan gaya sok rendah hati yang dibuat-buat, kita akan memposting transkrip nilai di Facebook.

Tapi kalau IPK kita jeblok, dengan nada tegar yang dibuat-buat kita akan nulis status “IPK bukan segalanya.” Atau, “Yang penting adalah proses mendapatkannya.”

Hak untuk bangga atau tidak terhadap IPK adalah hak personal. Tapi, ada baiknya kalau mahasiwa merenungkan 15 pertanyaan ini :

1. Bagaimana IPK Dibuat?
Di dunia akademik, metedologi adalah hal penting yang tak boleh diabaikan. Dalam penelitian, misalnya, peneliti harus pertanggungjawabkan sumber dan analisis datanya. Dari mana data berasal? Bagaimana data itu diolah dan dianalisis?

Idealnya, pertanyaan serupa juga perlu diungkapkan terhadap IPK. Bagaimana dosen memunculkan angka antara 0 sampai 4 itu di kartu hasil studimu?

Secara normatif, skala 0 sampai 4 pada IPK adalah akumulasi penilaian kuantitatif dari nilai tugas, nilai ujian tengah semester, dan ujian akhir semester. Ketiga komponen itu dijumlahkan dengan rasio bobot tertentu. Ada dosen yang membuat rasio 1:1:1, ada yang 1:2:3, ada juga yang 2:1:2

Tapi, apakah penghitungan itu dilakukan secara ketat? Hanya Tuhan dan dosenmu yang tahu.

2. Mengapa Universitas Perlu Membuat IPK?
Universitas menggunakan IPK sebagai alat ukur. Alat ukur biasanya menghasilkan angka atau tanda lain yang merepresentasikan sebuah kondisi. Angka atau tanda ini kemudian dibaca untuk mengetahui kondisi aktual. Dalam hal IP, kondisi yang ingin diketahui adalah perkembangan performa akademik mahasiswa.

Dengan IP, universitas bisa membuat kebijakan yang sesuai kebutuhan mahasiswa. Misalnya, mahasiswa ber-IPK rendah harus mengikuti pendalaman. Adapun mahasiswa IPK tinggi boleh mengikuti kuliah lanjutan.

3. Mengapa di Dunia Ini Harus Ada IPK?
Para pemikir positivistik zaman dulu percaya bahwa realitas hanyalah sesuatu yang dapat dilihat, diamati, diukur. Di luar sesuatu yang dilihat hanyalah takhayul, omong kosong, atau ilusi.

Keyakinan ini tampaknya diadopsi oleh para akademisi beraliran sama. Mereka hanya percaya sesuatu ada jika tampak, terlihat, dan terukur.

Mereka percaya kemampuan, pemahaman, dan penghayatan mahasiswa terhadap sebuah konsep juga harus terukur. Mereka baru percaya bahwa seseorang mampu, paham, atau menghayati jika ada indikatornya.

Keyakinan semacam inilah mendorong para dosen membuat alat ukur dengan berbagai alat tes. Dulu orang percaya soal pilihan ganda cukup akurat. Belakangan, orang yakin soal pilihan ganda adalah kekonyolan sehingga perlu ditinggalkan.

Untuk menggantikan itu, para dosen membuat alat ukur lain, misalnya ujian lisan, menulis makalah, atau portofolio.

4. Apakah IPK Cukup Akurat untuk Menilai Prestasi Mahasiswa?
Jika digunakan untuk mengukur aspek kognitif, tes-tes tertulis mungkin cukup memadai. Tapi, tes-tes semacam itu tidak bisa membaca aspek-aspek kemanusiaan lain, misalnya keyakinan, penghayatan, dan pengamalam. Padahal ketiga hal itu merupakan tujuan tertinggi pendidikan.

Ada sebuah kasus. Seorang guru agama Islam menggelar ujian lisan dengan meminta siswanya menghafal surat Al-Maa’uun. Siswa A mendapat nilai bagus karen hafal surat pendek itu. Tapi siswa B justru mendapat nilai jelek. Siswa B tidak hafal surat Al-Maa’uun, meskipun ia hafal surat Ali Imron.

5. Benarkah Orang Tua Kita Senang IPK Kita Tinggi?
Tiap orang tua berharap anaknya jadi orang baik – apa pun profesinya. Jika anaknya kuliah, tentu saja orang tua ingin anaknya jadi lebih cerdas dari sebelumnya.

Beberapa orang tua bangga anaknya ber-IP tinggi karena bisa dijadikan bahan obrolan di kantor. Beberapa orang tua senang anaknya cepat lulus supaya bisa dipamerkan dengan tetangga.

Tapi, ada juga orang tua yang tak ambil pusing dengan IPK anaknya. Mereka woles. Asal kamu bahagia, dia ikut bahagia juga; berapa pun IPK-mu.

6. Jika IPK Saya Rendah, Apakah Berarti Saya Bodoh?
Masih ingat pidator Erica Goldson saat pidato kelulusan? Lulusan terbaik itu menyinggung satu hal penting.

“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.”

Erica percaya, untuk dapat nilai bagus mahasiswa hanya harus melakukan hal yang sangat sederhana: turuti dosen. Kalau bisa, beri lebih dari yang mereka minta. Dosen suruh buat satu makalah, buatlah 3 makalah. Dosen minta Anda presentasi, berkhutbahlah! Dosen minta Anda rajin kuliah, berangkatlah ke kampus sebelum Shubuh.

Tapi, itu pilihan yang punya risiko juga. Jika kamu terlalu sibuk menuruti keinginan dosen, kamu justru tidak sempat menuruti keinginanmu sendiri.

Sata mahasiswa lain naik gunung, kamu di kos kerjakan laporan praktikum. Saat temanmu rafting di Serayu, kamu justru buat paper. Sementara temanmu pergi ke bioskop sama pacar, kamu malah antri di servisan komputer gara-gara laptopmu njebluk!

7. Apakah IPK Berpengaruh Terhadap Masa Depan Saya?
Tergantung kamu ingin jadi apa kelak. Kalau mau jadi karyawan, tentu kamu perlu IPK bagus supaya bisa ikut rekrutmen. Tapi kalau kamu pengin jadi pengusaha, yang lebih kamu perlukan adalah kecapakan berinovasi dan mental baja.

Kalau kamu pengin jadi pengacara dan buka firma hukum sendiri, IPK tinggi juga tidak mutlak diperlukan. Yang lebih kamu perlukan adalah kecakapaan analisis.

Kalau kamu pengin jadi seniman, berkreasilah. Buatlah sesuatu yang bisa dinikmati banyak orang.

8. Benarkah Perusahaan Suka Karyawan Ber-IPK Tinggi?
Beberapa perusahaan membuat syarat ketat saat rekrutmen. Biasanya mereka hanya mengizinkan sarjana dengan IPK di atas 2,75 untuk ikut seleksi.

Sikap perusahaan ini, menurut beberapa analisis bukan strategi merekrut mahasiswa cerdas. Mereka hanya sedang menghindari merekrut karyawan malas.

Sebab, IPK 2,75 itu standar. Itu bisa diperoleh dengan cara-cara standar. Berangkat kuliah, presensi, nulis makalah, lalu ikut ujian. Jika IPK-mu di bawah itu, ada kemungkinan kamu malas. Itu saja.

9. Apakah IPK Membantu Kita Memperoleh Jodoh Idaman?
Menurut analisis psikologi sosial Prof Yamato Sukamesum, jumlah cowok yang tertarik dengan cewek karena kecerdasannya tidak lebih banyak daripada jumlah cowok yang tertarik dengan cewek karena fisiknya.

Kalau kamu tidak percaya, perhatianlah saat cowok ngobrol dengan cewek yang baru dikenalnya. Dia memang berlagak memperhatikan pembicaraan, tapi percayalah, pandangan matanya akan “luber” ke mana-mana.

Begitu pula buat cowok nih. Cewek tidak tertarik dengan cowok pintar (apalagi sok pintar!). Lebih banyak perempuan justru tertarik dengan laki-laki yang membuatnya nyaman.

Kamu bisa lihat sendiri di sekolah. Populasi jomblo lebih banyak diisi oleh pecinta karya ilmiah. Cowok yang bisa masukan bola ke keranjang setinggi 3 meter justru sering gonta-ganti pacar kan?

10. Apakah Calon Mertua Menanyakan IPK Saat Lamaran?
Tentu saja iya (jika calon mertuamu adalah dosen pembimbing skripsimu di kampus). Bukan cuma tanya IPK, dia bahkan akan tanya kenapa rasio sampel dan populasi tidak representatif. Dia akan tanya bagaimana data A dan B ditriangulasikan.

Tapi kalau calon mertuamu adalah dai, dia tidak akan tanya IPK. Dia cuma akan memintamu shalat yang rajin.

11. Apakah IPK Tinggi Bisa Diagungkan ke Bank?
Tidak! Bank tidak peduli dengan kepintaran orang di sekolah. Bank lebih peduli pada kepintaran orang menghasilkan uang.

Ini memang fakta yang kej(i)am. Tapi memang begitulah cara bank bekerja.

Mereka bisa memberi kredit 5 miliar pada juragan tanah lulusan SD, tapi susah sekali memberi kredit pada lulusan cum laude untuk sekadar buka usaha.

12. Berapa IPK yang Diperlukan Agar Bisa Jadi Presiden?
IPK Joko Widodo saat kuliah di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada hanya 3,05. Tapi dia jadi presiden negara terbesar keempat di dunia.

Presiden Amerika Serikat Barack Obama lulus dari Jurusan Ilmu Politik Columbia University, tapi tanpa penghargaan. Konon dia bisa diterima di Harvard Law School karena politik afirmasi ras. Selain itu, saat itu karirnya sedang bersinar sebagai tokoh politik berhaluan liberal.

Tersebar guyon, sarjana dengan nilai A atau cocoknya jadi dosen, peneliti, atau ilmuwan. Kalau nilanya B cocok jadi karyawan atau PNS. Kalau nilainya C cocok jadi pengusaha. Kalau C atau D, cocoknya jadi politisi.

13. Jika Ditanya, Apa yang Dibawa Mati? Nilai IPK Atau Proses Mendapatkan IPK?
Sebagai orang yang beriman, tentu kita sudah tahu jawabannya.

14. Apakah Soekarno Pernah Nyontek Supaya Dapat IPK Bagus?
Saat sekolah Teknik di Bandung, dia pernah bekerja sama dengan mahasiswa lain saat ujian. Dan dia menyebut perbuatan itu sebagai “gotong royong”. Tidak percaya? Bacalah buku Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adam.

15. Pertanyaan Terpenting: Kapan Kampus Akan Berhenti Memproduksi IPK?
Segera. Tidak lama lagi orang tidak percaya lagi dengan penilaian kuantitatif. Masyarakat ingin penilaian akademik yang lebih otentik. Saat itulah kampus akan berhenti memproduki angka-angka.