Monday, January 29, 2018

Aku... 3 Tahun Yang Lalu


                                           
                                            

                                            “Nak,,, Hidup di Tempat Orang itu gak mudah”

“Kamu Harus Bisa menyesuaikan diri dengan keadaan disana”

“Kamu harus bisa hemat dalam menggunakan uang”

“Rumahmu Jauh, Jadi kamu harus bisa mikir”

“Fokus ama Kuliahmu, Jangan Yang Lain”

“Jangan pernah lupakan Shalat”

“Makanmu harus teratur”

“Kalau kamu dah Sampai jangan lupa kirimi Ibu dan Bapakmu Surat”

Itulah sekelumit petuah bijak yang disampaikan oleh Ibuku menjelang keberangkatanku ke tanah rantau untuk kuliah. Ini adalah pengalaman pertamaku jauh dari ibu dan bapakku. Sebagai anak bungsu yang manja aku merasakan sebuah ketakutan yang sangat karena memang aku tidak bisa jauh dari mereka. Saat kemah di Sekolah aja aku selalu ingin pulang, apalagi ini.. aku akan pergi dalam waktu yang cukup lama. Mungkin hanya satu atau dua kali aku akan pulang dalam setahun, itu juga kalau ada ongkos.

Aku lahir, tumbuh dan besar di sebuah kampong. Aku adalah anak bungsu dari 5 bersaudara. Selepas SMA aku mendaftarkan diri untuk kuliah pada sebuah Perguruan Tinggi Negeri, mengapa harus disana ? karena 2 dari kakakku adalah alumni disana. Aku jadi termotivasi untuk kuliah disana juga. Setelah mengikuti test akhirnya aku dinyatakan lulus, dan kini aku akan pergi kesana, meninggalkan ibu dan bapakku serta keluarga dan teman-temanku. Berat memang, namun ini adalah pilihan hidup untuk masa depanku.

Waktu menunjukkan pukul 08.30 WITA, Bis Malam yang akan aku naiki sudah menanti di depan, tepat jam 10.00 WIB nanti akan berangkat, aku masih duduk di bangku terminal diapit oleh Ibu dan Bapakku. Ibu terlihat sesekali mengusap air matanya, sementara bapak hanya diam. Aku tahu beliau sangat berat untuk berpisah dengan anak bungsu yang selalu membantunya di sawah, aku bisa membayangkan esok dan seterusnya bapak bakalan sendirian ke sawah. Aku segera beranjak untuk memindahkan barang-barangku ke bagasi bis, setelah mencium tangan kedua orantuaku aku segera beranjak untuk menaiki bis malam.

Waktu keberangkatan masih sekitar satu jam lagi, namun aku sengaja untuk naik lebih cepat supaya aku bisa menenangkan diri di tempat dudukku, semakin lama aku bersama kedua orantuaku tentu akan membuat perasaanku semakin tidak menentu. Orangtuaku pun tampaknya mengerti itu. Dari balik jendela tempat dudukku aku memandangi mereka, air mataku menetes namun aku berusaha untuk tetap tegar. Aku sudah tidak kuat lagi, segera tirai penutup jendela aku geser supaya aku tidak melihat ke luar lagi, aku masih saja menangis, ku coba untuk memejamkan mata, menghayal tentang apa yang akan aku jalani ke depannya di rantau, mencoba untuk tidak mengingat rumah, namun sulit sekali rasanya.

Tak Terasa Bis Malam yang aku tumpangi pun perlahan berjalan keluar dari terminal, ku coba untuk menengok keluar dengan menyingkap tirai, mencari dimana kedua orangtuaku, namun mereka sudah tidak tampak lagi, sepertinya mereka sudah naik angkutan untuk pulang. Ternyata seperti ini rasanya pergi meninggalkan rumah dan orang yang kita sayangi. Dibutuhkan waktu sekitar 20 jam untuk sampai di Makassar, perjalanan yang sangat panjang, apalagi akan ada 2 kali jembatan panjang. Selama perjalanan aku mencoba untuk tidur namun sulit sekali rasanya, bukan apa-apa, teman dudukku adalah emak-emak yang tidak berhenti berbicara dengan orang di depan tempat dudukku, sepertinya mereka satu rombongan.

“Kapan matinya baterai ibu ini, dari tadi full terus” 

batinku mengguman… Tak lama kemudian si ibu itu mulai diam…

“Hebat, Dia bisa membaca fikiranku”

Ternyata dia tertidur, namun itu bukan akhir dari sebuah polusi suara, suara dengkurnya ternyata lebih dahsyat dari ocehannya. Luar biasa sekali. Sialan… mengapa pengalaman pertamaku naik Bis Malam aku dapat teman duduk seperti ini ? sudahlah… aku tetap mencoba untuk tidur, bantal duduk serta selimut yang diberikan oleh crew Bis aku gunakan untuk menutupi telingaku supaya suara dengkurnya tersamarkan.

Jurusan yang aku ambil hanya ada 1 kelas yang terdiri dari 40 orang Mahasiswa, hanya aku sendiri yang berasal dari Luar kabupaten. 39 Orang teman kelasku adalah anak-anak yang berasal dari Sekitaran Makassar. Di Kelas aku termasuk anak yang pendiam, bukan apa-apa, aku hanya tidak mengerti dengan Bahasa Mereka. Dalam keseharian mereka selalu menggunakan bahasa daerah. Sesekali aku harus mendehem untuk sengaja menegur sekaligus memberitahukan bahwa ada aku disana yang tidak bisa berbahasa daerah mereka. Sekali dua mereka bisa faham dan segera menggunakan Bahasa Indonesia. Sudahlah… mungkin itu sebuah cobaan diawal perantauanku.

Sultan, itu namaku. Namun teman-temanku biasa memanggilku dengan nama LEMBEK, bisa ditebak, mereka memanggilku dengan sebutan itu karena apa. Bisa jadi juga mereka memanggilku dengan nama itu karena muka ku yang nampak pasrah karena jarang berbicara. Aku tidak keberatan dengan panggilan itu, toh itu masih dalam kewajaran, tapi manggilnya harus lengkap, LEMBEK, jangan dipenggal 2 huruf di depannya, karena itu kedengarannya menjadi lucu. Itu harapanku, namun dalam keseharian teman-temanku malah sering memanggilku dengan sebutan MBEK… Apes dah…

“Mbek, kita masuk ke barisan yuk.. Giliran Kita sebentar lagi”

Tepukan di pundakku mengagetkanku dari lamunan panjangku. Deli, teman senasib dan sepenanggunganku di kelas mengajakku untuk segera masuk dalam barisan. Jangan menerka dia adalah Cewek karena namanya adalah Deli, dia cowok tulen, sama denganku, nama lengkapnya adalah Delianto, namun teman-teman lebih memilih untuk memanggilnya dengan nama Deli, padahal dia sudah memproklamasikan dirinya biasa dipanggil Anto. Dia adalah temanku satu-satunya dari Kelasku yang akan di Wisuda hari ini, nasib kami sama… menyelesaikan program Diploma 3 Dalam waktu 4 Tahun. 38 teman kami sudah wisuda satu tahun yang lalu.

Aku segera beranjak untuk masuk dalam barisan, menunggu giliran untuk disahkan menjadi pengangguran. Kedengarannya sungguh kejam, namun memang kenyataannya seperti itu, teman-temanku yang wisuda setahun yang lalu saja masih banyak yang belum bekerja, apalagi kami yang molor ini ? ah.. siapatahu nasib akan berbicara lain nantinya… tidak ada yang tahu masa depan akan seperti apa setelah wisuda.

Dan Akhirnya aku pun resmi mempunyai gelar di belakang namaku. Meski kedua orang tuaku tidak datang menyaksikan namun itu semua tidak menjadi sebuah masalah bagiku. Aku bisa memahami kedaan mereka di kampung. Rasa iri melihat orang-orang dikelilingi orang tua dan sanak saudara saat wisuda tentu akan ada, namun apa daya, Kedua orang tuaku tidak bisa hadir karena Bapakku sedang sakit. Hanya ada satu foto wisuda yang aku punya, untung saja masih ada kenangan. Aku berharap hasil foto mereka terbakar semua, biar nasibnya sama denganku. Entah harapanku itu terwujud atau tidak.


“Ibu… Bapak… Anakmu Sudah Lulus Kuliah.. Meski Harus Molor Setahun”


“Kenangan itu cuma hantu di sudut pikiran. 
Selama kita cuma diam dan nggak berbuat apa-apa, 
selamanya dia akan tetap jadi hantu. 
Nggak akan pernah jadi kenyataan.” 


== Dee Lestari ==

Monday, January 22, 2018

KECOA dan CEO GOOGLE

       



CEO Google, Sundar Pichai mulai banyak dikenal orang setelah menjabat pimpinan tertinggi raksasa perusahaan Google. Pichai terlahir di Tamil Nadu, India pada tahun 1972. Pichai dikenal oleh karyawan Google sebagai seseorang yang selalu berhasil merealisasikan rencana menjadi kenyataan. Beberapa proyek dia yang sukses yakni browser Chrome dan Android.

Sundar Pichai memang dikenal sebagai orang yang ramah, cerdas, dan pekerja keras. 

Ada sebuah kisah inspiratif dari pidato oleh Sundar Pichai kepada anak buahnya.
Ia berpidato tentang kecoa. Kisah inspiratif dibalik kecoa yang menjijikkan.

Di sebuah restoran, seekor kecoa tiba-tiba terbang dari suatu tempat dan mendarat di seorang wanita.

Dia mulai berteriak ketakutan. Dengan wajah yang panik dan suara gemetar, dia mulai melompat, dengan kedua tangannya berusaha keras untuk menyingkirkan kecoa tersebut.

Reaksinya menular, karena semua orang di kelompoknya juga menjadi panik.

Wanita itu akhirnya berhasil mendorong kecoa tersebut pergi tapi … kecoa itu mendarat di pundak wanita lain dalam kelompok.

Sekarang, giliran wanita lain dalam kelompok itu untuk melanjutkan drama.

Seorang pelayan wanita bergegas ke depan untuk menyelamatkan mereka.

Dalam sesi saling lempar tersebut, kecoa berikutnya jatuh pada pelayan wanita.

Pelayan wanita berdiri kokoh, menenangkan diri dan mengamati perilaku kecoa di kemejanya.

Ketika dia cukup percaya diri, ia meraih kecoa itu dengan jari-jarinya dan melemparkannya keluar dari restoran.

Menyeruput kopi dan menonton hiburan itu, antena pikiran saya mengambil beberapa pemikiran dan mulai bertanya-tanya, apakah kecoa yang bertanggung jawab untuk perilaku heboh mereka?

Jika demikian, maka mengapa pelayan wanita tidak terganggu?

Dia menangani peristiwa tersebut dengan mendekati sempurna, tanpa kekacauan apapun.

So, para hadirin.. CEO dari India ini kemudian bertanya:

“Lalu apa yang bisa saya dapat dari kejadian tadi?”

Ia melanjutkan pidatonya..

“Dari tempat saya duduk, saya berpikir..

Kenapa 2 wanita karir itu panik, sementara wanita pelayan itu bisa dengan tenang mengusir kecoa?

Berarti jelas bukan karena kecoanya, tapi karena respon yang diberikan itulah yang menentukan. Ketidakmampuan kedua wanita karir dalam menghadapi kecoa itulah yang membuat suasana cafe jadi kacau.

Kecoa memang menjijikkan.
Tapi ia akan tetap seperti itu selamanya.
Tak bisa kau ubah kecoa menjadi lucu dan menggemaskan.

Begitupun juga dengan masalah.

Macet di jalanan, atau istri yang cerewet, teman yang berkhianat, bos yang sok kuasa, bawahan yang tidak penurut, target yang besar, deadline yang ketat, customer yang demanding, tetangga yang mengganggu, dsb.

Sampai kapanpun semua itu tidak akan pernah menyenangkan.

Tapi bukan itu yang membuat semuanya kacau. "Ketidakmampuan kita untuk menghadapi yang membuatnya demikian.”

Yang mengganggu wanita itu bukanlah kecoa, tetapi ketidakmampuan wanita itu untuk mengatasi gangguan yang disebabkan oleh kecoa tersebut.

Di situ saya menyadari bahwa, bukanlah teriakan ayah saya atau atasan saya atau pasangan saya yang mengganggu saya, tapi ketidakmampuan saya untuk menangani gangguan yang disebabkan oleh teriakan merekalah yang mengganggu.

Reaksi saya terhadap masalah itulah yang sebenarnya lebih menciptakan kekacauan dalam hidup saya, melebihi dari masalah itu sendiri.

Apa hikmah dibalik kisah inspiratif dari pidato ini?

Para wanita bereaksi, sedangkan pelayan merespon.

Reaksi selalu naluriah sedangkan respon selalu dipikirkan baik-baik.

Sebuah cara yang indah untuk memahami HIDUP.

Orang yang BAHAGIA bukan karena semuanya berjalan dengan benar dalam kehidupannya..

Dia BAHAGIA karena sikapnya dalam menanggapi segala sesuatu di kehidupannya benar..!

Itulah kira-kira hikmah yang dapat diambil dari sebuah kisah inspiratif dari pidato CEO Google, Sundar Pichai.

*"Masalah adalah sebuah masalah ..... RESPONSE kita lah yg akan menentukan bagaimana akhir dari sebuah masalah ...

Saturday, January 20, 2018

"REZEKI AKAN MENGEJAR SEPERTI KEMATIAN MENGEJAR KITA"



Pulang kantor, mampir dulu beli titipan orang rumah. Kali ini dititipin ketoprak. Akhirnya ketemu gerobak ketoprak, kok ini gerobaknya kosong gak ada orang yang jaga.

"Pak, ini tukangnya mana Pak? " tanyaku ke tukang cukur disebelahnya.

"Oh, lagi sholat maghrib Pak. Dah dari tadi, bentar lagi datang", jawabnya.

Sehubungan ini pesenan orang rumah, terpaksalah menunggu agak lama. Kalau untuk diri sendiri sih sudah saya tinggal langsung.

Sedikit terlintas dalam hati, betapa banyak potensi pembeli yang akan hilang, kalau ditinggal lama begini.

Tak berapa lama datanglah tukang ketoprak tersebut. "Beli ketoprak Pak satu". Ucapku.
Entah mengapa, tiba - tiba berubah pikiran, "dua deh Pak".

Kemudian datanglah beberapa orang yang antri ingin beli ketoprak. Entah dari mana mereka. Tadi saya menunggu sendiri gak ada orang lain, tiba2 mereka datang memesan ketoprak .

Masya Allah, Tidak sedikit pedagang yang rela Meninggalkan sholat Demi menjaga dagangannya yang belum tentu ada orang beli. Apalagi jika pelanggan sedang ramai. Atau mungkin pegawai kantoran, Rela menunda Sholat bahkan meninggalkan sholat hanya karena alasan sibuk kerja, meeting & lain sebagainya. Mereka & juga kita seakan lupa kalau Allah lah yang mengatur rezeki

Tukang ketoprak ini, dengan yakinnya meninggalkan jualannya untuk Sholat, seakan ia lari meninggalkan rezekinya. Sekembalinya dari Sholat ternyata Rezeki datang bak lebah mengerumuni bunga. Bahkan Allah pun menggerakkan hati saya sendiri untuk membeli lebih dari yang seharusnya.

Sungguh benar perkataan Rasulullah  SAW :

“Kalaulah anak Adam lari dari rezekinya (untuk menjalankan perintah Allah) sebagaimana ia lari dari kematian, niscaya rezekinya akan mengejarnya sebagaimana kematian itu akan mengejarnya.”
( HR. Ibnu Hibban No. 1084).

Semoga Allah menjadikan kita hamba-Nya yg selalu bertakwa, yang selalu mengutamakan kehidupan akhirat diatas dunia & seisinya.


KISAH "LUCU" DARI TANAH PAPUA



Konon..., suatu ketika ada sebuah desa di pelosok Papua sana yg penghasilan utamanya adalah pisang... 

Banyak sekali pisang enak yang dihasilkan dari tanah subur di desa tersebut...

Selain manis, besar-besar dan konon khasiatnya sangat bagus untuk kesehatan...

Itulah mengapa, penduduk di sana banyak yg menggantungkan hidup dari hasil jualan pisang...

Tetapi..., karena daerahnya terpencil, mereka harus menjual pisang tersebut ke kota dan menempuh jarak 30 km-an...

Dengan infrastruktur yang masih belum bagus, mereka harus jalan kaki..., mengarungi sungai..., dengan membawa satu-dua tandan pisang perorang...

Sampai di pasar kota, pisang itu sudah langsung ada penadahnya...
Laris manis...
Uang pun didapat...

Dan..., masyarakat desa itu pun segera pulang ke kampungnya lagi...

Namun sebelum pulang, ada satu tradisi mereka untuk membawa oleh-oleh ke rumah...

Dan... yg paling dinanti oleh keluarga mereka dirumah sebagai oleh-oleh biasanya adalah... 
PISANG GORENG...!!!

Ya...!!! Jauh-jauh mereka ke kota, jualan pisang..., untuk kemudian membeli oleh-oleh pisang goreng...

Uang hasil jualan pisang sebagian dipakai untuk membeli pisang goreng...

Ada yg merasa aneh atau lucu dengan kisah tadi...???

Sebagian teman-teman saya tertawa mendengar kisah itu...
Jauh-jauh ke kota jualan pisang, kok bawanya oleh-oleh pisang juga...???

Kenapa tidak menggoreng sendiri...???

Aneka tanggapan pun muncul saat mengetahui kisah ini...

Tetapi...

Sesaat kemudian...,
Tawa itu berubah jadi hening...
Ketika saya mengatakan bahwa

 INILAH YG TERJADI PADA SEBAGIAN BESAR ORANG INDONESIA...!!!

>> Air diambil dari Indonesia..., diolah jadi 'Aqua'..., dijual lagi ke kita..., dan uangnya diambil oleh Danone..., perusahaan dari luar negeri...!!!

>> Sepatu keren dibuat orang Indonesia..., dibawa ke luar negeri dan diberi cap 'Nike'..., dan dijual lagi ke Indonesia dgn harga berkali lipat..., dan banyak yg bangga memakainya...!!!

>> Kopi-kopi terbaik dari tanah Indonesia..., dibeli dan diolah 'Starbucks'..., dijual kembali dgn harga berkali lipat kepada orang Indonesia...!!!

Kisah di atas saya dapatkan dari teman-teman yg menginisiasi gerakan Bela Indonesia - Beli Indonesia.
Sebuah gerakan Kemandirian Ekonomi, berdikari dibidang ekonomi, untuk mendukung dan bangga menggunakan produk Indonesia...!!!


Jika kita Peduli, memperjuangkan dng cara MEMBELA & MEMBELI Produk" Saudara Sendiri / Produk Bangsa Sendiri dari ujung kakai sampai ujung rambut, dari tidur, bangun tidur, masuk kamar mandi, berangkat kerja sampai pulang lagi kerumah. Mari Kita tumbuhkan Rasa Keberpihakan utk mau memakai dan membeli produk bangsa sendiri..., niscaya 250 juta penduduk Indonesia akan lebih sejahtera...
Insya ALLAH...

Antara Pikiran dan Kesehatan



Seorang Profesor di Jepang melakukan Riset yang Mengejutkan..

1. Maag bukan hanya diakibatkan karena kesalahan pola makan, tapi justru lebih didominasi karena Stress

2. Hypertensi bukan hanya diakibatkan oleh terlalu banyak konsumsi makanan yang asin, tapi lebih dominan karena kesalahan dalam me manage Emosi.

3. Kolesterol bukan hanya diakibatkan oleh makanan berlemak, tapi rasa Malas berlebih yang lebih dominan menimbun lemak.

4. Asthma bukan hanya karena terganggunya suplai oksigen ke paru-paru, tapi sering merasa Sedih yang membuat kerja paru-paru tidak stabil.

5. Diabetes bukan hanya karena terlalu banyak konsumsi glukosa, tapi sikap Egois dan Keras Kepala yang mengganggu fungsi pankreas.

6. Penyakit Liver bukan hanya karena kesalahan pola tidur, tapi sifat Berpikiran negatif kepada orang lain yang justru merusak hati kita.

7. Jantung koroner bukan hanya diakibatkan oleh sumbatan pada aliran darah ke jantung, tapi Jarang Sedekah membuat jantung kita kurang merasakan ketenangan, sehingga detaknya tidak stabil.

Faktor penyebab penyakit adalah karena masalah- :
Spiritual 50%- 
Psikis 25%- 
Sosial 15%- 
Fisik 10%

Jadi kalau kita ingin selalu sehat, perbaiki:

Diri kita,
Pikiran kita,
terutama Hati kita dari segala jenis penyakit hati:
hasad, hasud, iri, dengki, pendendam, fitnah, ghibah, riya, ujub, benci, amarah terpendam, sombong, pelit, su'udzon, egois, keras kepala, sedih, malas, dan lainnya.

Jadilah orang yang mudah memaafkan.

Lembutkan hati dan ikhlas kan yang sudah terjadi.

Banyak bersyukur dan nikmati kebahagiaan sekecil apapun.

Jalin persaudaraan yang mengajak dan selalu mengingatkan dalam kebaikan.

Serap ilmu dari arah mana saja. Dari kawan maupun lawan.

Karena seringkali ada hikmah tersembunyi dari kejadian yang menimpa orang-orang di sekitar kita.

CERITA DI BALIK UANG PANAI’ UNTUK MELAMAR WANITA BUGIS-MAKASSAR


Tidak perlu lagi dijelaskan. Berita ini menjadi perbincangan yang panas sepanjang malam, terutama bagi saya dan saudara sekampung yang kini sedang berada di tanah rantau. Memang sih, kalau menikah itu wajar bahkan menjadi kewajiban kita, apalagi dengan niat untuk menyempurnakan agama.
Pasti banyak yang belum mengerti bahkan tidak familiar dengan istilah “Uang Panai'” terutama yang sama sekali tidak mengerti adat suku Bugis-Makassar.
Jadi, dalam tradisi pernikahan adat suku Bugis-Makassar, tidak hanya mematokkan mahar sebagai syarat pernikahan, tetapi ada juga uang naik (panai’) yang harus disiapkan ketika sebelum memutuskan untuk menikah.
Uang panai’ adalah sejumlah uang yang diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita yang akan digunakan untuk keperluan mengadakan pesta pernikahan dan belanja pernikahan lainnya. Uang panai’ ini tidak terhitung sebagai mahar penikahan melainkan sebagai uang adat namun terbilang wajib dengan jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak atau keluarga.
Kalimat Uang Panai’ makin hari menjadi momok bagi para pemuda Bugis-Makassar yang ingin melamar pujaannya terlebih jika ia berasal dari suku yang sama. Mengapa seperti itu? Sudah jadi rahsia umum jika uang panai’  nominalnya sangat tinggi bahkan mencapai miliaran. Apalagi jika wanita yang ingin dilamarnya memiliki ciri seperti ini:
  • Tingkat strata sosial yang tinggi (Karaeng, Andi, Puang).
  • Berasal dari golongan darah biru (Raja Gowa, Bone)
  • Pendidikan yang tinggi (S1, S2, S3, Prof. Dr…..)
  • Cantik *semua pasti miliki ini*
  • Anak tunggal
  • Dari keluarga berada dan terpandang
  • Memiliki pekerjaan yang tetap (PNS, Dokter, Guru)
  • Hajjah

Bahkan ada beberapa anak muda (termasuk teman sekolah saya) yang sering melontarkan candaan seperti ini  :
Tamat SMA: 50 jutaTamat S1: 75 jutaTamat S2 + cantik: 100 jutaTamat S2 + cantik + haji + PNS + anak satu-satu (tunggal) : takkala bunuh ma! “sekalian bunuh saja diriku”.
Ironi memang, tapi kita tidak akan mampu menghilangkan adat yang telah mendarah daging cukup kental termasuk tradisi ini. Tak jarang uang panai’  terus bertambah nominalnya karena ada campur tangan dari keluarga inti pihak perempuan yang dianggap andil dalam menentukan suatu kesepakatan.
Istilah “Sillariang” (kawin lari bukan kawin sambil berlari) kerap kali muncul dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar ini. Yah, salah satu faktor terjadi karena syarat yang diminta oleh mempelai wanita tidak mampu dipenuhi oleh pihak pria sehingga nekat mengambil jalan pintas demi mempersatukan cinta mereka dengan alasan ingin bahagia.
Namun jika segala ketentuan yang telah ditetapkan kepada pihak keluarga pria dan terpenuhi, sering membuat keluarga dari pihak perempuan merasa senang dan dianggap sebagai kehormatan tersendiri karena:
  1. Rasa penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada mempelai wanita.
  2. Dapat memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui uang panai’tersebut.
  3. Sebagai bukti bahwa pria tersebut sungguh-sungguh dalam melamar.
Dengan fenomena ini, jangan heran jika uang panai’ seringkali menjadi persaingan sosial seseorang. Contohnya: Si A dilamar oleh kekasihnya dengan mahar 1 hektar sawah dan 1 hektar kebun. Uang Panai’ yang diberikan kepada pihak keluarga A sebesar Rp. 128 juta dan info ini telah tersebar luas hingga sampai di telinga keluarga B. 1 minggu kemudian, si B juga dilamar oleh kekasihnya. Pihak keluarga si B meminta uang panai’sebesar Rp. 135 juta dengan alasan “Kita harus lebih tinggi dari si A”.
Dari hal ini, kita tau bahwa uang panai’ juga seringkali dijadikan kompetisi bagi beberapa individu dan sebagai ajang adu gengsi. Yang menjadi korban, yah putri mereka. Jadi jangan salahkan takdir ketika anak gadisnya menjadi perawan tua.
Etsss, jangan salah dulu, mempelai pria juga bersaing dengan hal ini. Besaran uang naik ini seringkali juga menjadi standar kemakmuran mempelai pria dan juga “kualitas” si mempelai wanita. Sehingga ketika seorang wanita dinikahi oleh pria dengan uang naik yang kecil dapat membuatnya agak malu dengan teman atau saudaranya yang mendapat uang naik yang lebih besar. Demikian pula dengan mempelai laki laki juga akan merasa malu ketika dia tidak dapat memberikan uang naik yang cukup besar bila dibandingkan dengan teman temannya.
Suatu sumber pernah memuat artikel yang menyatakan bahwa mahar (walaupun yang ia maksud adalah uang panai’) wanita tertinggi di Indonesia itu dari suku Bugisdisusul Aceh, Borneo, Padang Pariaman dan terakhir Nias. Namun jangan pernah menganggap bahwa wanita Bugis-Makassar itu materialistis, kami hanya realistis. *Peace*
“Mengapa orang Bugis rajin bekerja? Karena mereka punya banyak keinginan-keinginan. Mereka ingin menikah dengan panai’ (uang naik) yang tinggi. Setelah itu mereka ingin punya rumah. Setelah itu mereka mau naik haji. Kalau sudah haji, mereka ingin kawin lagi. Maka prosesnya kembali dari awal” – Jusuf Kalla
Bagi pria lokal atau yang juga berasal dari suku Bugis-Makassar, memenuhi jumlah uang panai’ juga dapat dipandang sebagai praktik budaya siri’, jadi wanita yang benar-benar dicintainya menjadi motivasi yang sangat besar untuk memenuhi jumlah uang panai’yang di syaratkan. Sering terjadi saat mempelai pria tak mampu memenuhi permintaan itu, umumnya menebus rasa malu itu dengan pergi merantau dan kembali setelah punya uang yang disyaratkan. Tapi terkadang kenyataan tidak selalu berjalan sesuai keinginan. Wanitanya telah lebih dulu menikah sebelum ia kembali akibat dorongan keluarga atau terlalu lama sendiri.
Setiap hal akan selalu menimbulkan berbagai persepsi, termasuk adat ini. Sebagian orang yang kurang paham memahami ini sebagai “harga anak perempuan” atau bahkan dipersepsikan sebagai perilaku “menjual anak perempuan”. Bagi pria daerah lain yang membutuhkan modal yang tidak begitu banyak untuk pernikahan seperti pria Jawa, sangat wajar jika mempersepsikan uang panai’ sebagai harga seorang anak perempuan Makassar karena pada daerah asalnya tidak demikian banyaknya. Begitupun dengan individu yang menganggap kemegahan pernikahan bukanlah jaminan sejahteranya kehidupan rumah tangga kedepan.
Kembali ke judul tulisan saya, Cerita di balik Uang Panai’ untuk melamar Wanita Bugis-Makassar, ini bukan menutup akses untuk para pria tidak melamar wanita-wanita dari suku tersebut. Disinilah mental seorang pria yang bersungguh-sungguh diujiTerkadang ada kalimat lelucon yang muncul mengenai ini, “Lautan akan ku sebrangi, gunung kan ku daki, tapi uang panai’mu tidak mampu ku takluki”.
Wanita Bugis terkenal akan kesetiaannya kepada pasangannya hal ini bisa dilihat dari rendahnya angka perceraian yg terjadi di Sulawesi-Selatan. Selain itu sejak dahulu orang Bugis Sul-Sel terkenal sebagai pelaut ulung meskipun mereka melaut beberapa bulan  hingga tahunan namun istrinya tetap setia menunggu kedatangan suaminya.
Semua kembali ke individu masing-masing, ketika ada niat yang kuat, selalu dibukakan jalan. Tradisi ini bukanlah sebagai media untuk mempertontonkan siapa yang ‘mahal’ siapa yang ‘murah’. Melainkan dari tradisi ini kita belajar bahwa untuk mendapatkan sesuatu, harus berusaha dan bekerja keras untuk memenuhinya.

Mengutip kalimat salah satu blogger handal daerah:
Sebagai perempuan, kita harus pandai melihat diri. Jadilah perempuan Bugis yang materru’ (berani) dan malampe’ nawa nawa (bijaksana dan cerdas) agar kita pantas untuk seorang lelaki yang berkarakter joa (pemimpin) dan memiliki prinsip alempureng (kejujuran) dan assitanajangeng (kepantasan).

Uang panai’ merupakan bentuk penguatan ekonomi dan budaya masyarakat Bugis-Makassar. Akan tetapi, jika sudah melampaui norma-norma kepantasan dan telah melenceng jauh dari yang diamanahkan oleh syariah, akal sehat dan cita-cita dari mereka yang saling mencintai, tentu akan berbeda subtansi dan fungsinya.
Terakhir saya cantumkan foto ‘curhat’ pemuda galau tentang uang panai’ yang artinya: “Ampun deh kalau uang panai’ kamu berlapis-lapis”.
Jadi bagi yang punya pacar, pasangan, calon istri, tunangan ataupun gebetan wanita dari Bugis-Makassar, mulai sekarang harus lebih giat lagi mengumpulkan Uang Panai’sebelum diambil orang dan menambahkan populasi jomblo di Indonesia.

Anak lelaki



Anak lelaki banyak energi.
Anak lelaki suka berlari.
Anak lelaki perlu keluar kena matahari supaya mood jadi happy, kurang depresi, tingkatkan memory.

Anak lelaki perlu Ayah disisi.
Untuk jadi idola diri.
Ajak ke masjid. Katakan padanya, Allah mencintai pemuda yg mencintai mesjid.

Anak lelaki perlu ibu, yg sentiasa mendengar dan mengasihi.
Memang macam-macam perangai yg dia buat, kadang-kadang bikin sakit hati.

Tapi Ibu butuh sabar yang tidak bertepi.
Ngomong sekali belum tentu si anak lelaki nurut.Ingatkan beberapa kali.
Bukan berarti si anak sembrono ya.
Tapi ada cara dan seninya.
Karena anak lelaki,otaknya tak mampu memproses banyak arahan,  satu arahan satu situasi.
.
Ketika merasa marah padanya, katakan pada  pada diri,
Ini amanah Illahi
Tugas kita bukan menghakimi
Tapi mendidik
Beri kasih sayang, tanpa lelah memberi.
.
Dan Ini persoalan yang terakhir
Sudah peluk anak lelaki anda hari ini?
Dalam sekejap mata mereka menjadi dewasa.

Peluklah selagi sang putera masih berdenyut nadi.

Sunday, January 14, 2018

Izinkan Aku Merencanakan Masa Depanku Sendiri


Langitpun semakin redup, sang surya mulai menyingsing menyambut kedatangan bulan, warna jingga dan magenta terlukis jelas dengan sedikit kilatan cahaya yang memancar. Sedikitpun tak akan ada yang bisa meruntuhkan niatku, hatiku sudah mantap. Sama sekali tak akan ada yang bisa memutar balik bahkan memundurkan langkahku, satu milimeterpun. Tekadku sudah bulat, anggap saja aku harimau yang kelaparan.
Jika kalian memintaku untuk menyerah dan membiarkannya begitu saja, jawabannya adalah TIDAK! Aku tidak mau menjadi orang yang gagal, kau tahu? Kebanyakan orang gagal itu adalah orang yang tidak pernah tahu betapa dekatnya dia dengan keberhasilan hingga dia memutuskan untuk menyerah.
Ini mimpiku. Biarkan aku bermimpi setinggi langit ke-tujuh dan biarkan aku membuat roket untuk menjemputnya. Apa masalah kalian? Bukankah kalian juga punya mimpi?
Jika aku tak mampu menjadi pelita malam biarkan aku menjadi kunang-kunang yang menghiasi malam. Jika aku tak mampu berada di puncak dalam mimpiku setidaknya aku pernah berada dalam perjalanannya dan biarkan aku menjadi bagian darinya.
Aku tahu, kalian tidak akan pernah sependapat denganku. Bagaimanapun juga, air dan minyak tidak akan pernah bersatu, bukan?
Seperti garis horizon, terlihat bersatu, nyatanya langit dan laut tak akan pernah bisa menyatu.
Perumpamaan apa lagi yang bisa menggambarkan posisi ini, hingga kalian dapat mengerti?
Jika kalian tanya puncaknya, sungguh, ini pertanyaan terlucu bagiku. Aku hanya ingin menjadi 'apa' yang kuinginkan. Aku ingin menjemput mimpi kecilku lalu mimpi kecilku kemudian mimpi kecilku lagi hingga aku mendapatkan mimpi besarku, dan aku tahu saat itu pula aku akan mempunyai secercah mimpi kecil lagi yang tidak akan pernah ada puncaknya. Jadi, kita kalian menanyaiku mana puncak mimpimu?, kapan akan berakhir?, kapan kau berhenti? Jawabannya, tidak akan pernah.
Bukankah manusia memang terlahir dengan ketidakpuasan yang tidak terbatas? Sama halnya dengan angka, dimulai dengan angka 1 dan kau tidak akan pernah bisa menemukan akhir dari angka.
Kumohon, izinkah aku meraih mimpiku dengan semua rencana matang yang sudah kupersiapkan. Izin? Memangnya aku memerlukan izin siapa? Toh, kalian selalu mencoba berbagai cara untuk menghentikan langkahku. Lucu memang, dan aku sangat bodoh jika masih saja memperdulikan kalian.
Anggap saja aku besi yang berkarat dan kalian adalah amplas yang sangat mulus. Tiap kalian mencoba untuk mengataiku dengan berbagai omong kosong yang memuakkan, kalian sedang meng-amplas besi yang berkarat. Sakit memang. Tapi tunggu, biarkan saja si besi berkarat menikmati amplasannya. Saat si besi menjadi diri yang baru dengan besi yang mengkilat, amplas tidak akan pernah lagi digunakan.

Menjadi Bijaklah, Karena Apa yang Kita Lakukan, Adalah Apa yang Batin Kita Renungkan


Kebahagiaan sejati bersemayam dalam diri setiap manusia, tetapi karena hiruk-pikuk di kepala, orang tak bisa mengenali lagi kebaikan di dalam dirinya.
Kita oleh pikiran kita sendiri sering kali terjebak oleh berbagai hal yang harus dilakukan. Belum selesai plan A, otak kita sudah melompat ke plan B, C, dan seterusnya—tapi tidak ada yang selesai dengan baik dan justru tertunda semua.
Pertambahan usia membuat kejernihan pudar karena ‘a crazy monkey mind’ bertengger di kepala. Ibaratnya seperti monyet yang bergelayutan dari satu pohon ke pohon lainnya. Sumber kebahagiaan raib. Kehangatan dalam hubungan antar manusia pun ikut raib. Kondisi batin yang demikian terjadi karena dipenuhi oleh tiga jenis racun : ketamakan, kebencian dan kegelapan batin – maka batin kita janganlah dipercaya.
Manusia cenderung membandingkan, tidak menerima dan menghargai yang dimiliki. Pikiran pepat oleh, ’tidak cukup’, ’tidak punya’, ’tidak cukup punya’. Hidup dipenuhi ’tetapi’. ’Makanan ini enak, tetapi…. Hidup ini indah, tetapi…”.
Yuta dilahirkan di tempat yang indah, perkampungan yang dipenuhi kasih dan kepedulian sesama. Sebuah lembah di diantara gunung-gemunung dan perbukitan, tempat yang asri dan religius. Bantir, desa hijau dan sejuk yang memiliki kearifan lokal di dalamnya. Tapi Yuta benar-benar tak bisa lagi menikmati pemandangan indah dari rumah lembah idamannya. Padahal, semua masih di sana, tetapi ia tidak melihatnya lagi. Kalau ada 10 hal penting, sembilan dimiliki, tetapi fokusnya hanya pada satu yang kurang, maka rasa ’kurang’ itu membesar, dan menelan kita.

Batin kita tidak boleh dibiarkan memiliki segala hal yang diingini semuanya. Kita harus berupaya untuk mengendalikan batin, sehingga batin tidak akan terus mengejar nafsu.
Kita harus menyadari bahwa batin kita seperti kera yang terus-menerus melihat ke luar setiap waktu dan tidak pernah diam. Batin juga seperti banteng liar yang terus-menerus melompat dan berlari kesana kemari dan tidak pernah beristirahat.
Lalu, bagaimana cara mengendalikannya? Cukup dengan meditasi sederhana!
Memusatkan batin melalui meditasi berarti mempelajari metode untuk berkesadaran. Beginilah batin kita bisa dilatih untuk tinggal dalam keheningan dan tidak memberaikan pikiran kemana-mana. Apapun yang kita perbuat secara fisik, batin kita mengamati dan merenungi hal yang sama.

Jangan Jadi Orang yang Pandai Bicara Tapi Nol Dalam Praktiknya

Pandai bicara sama artinya dengan jago ngomong. Kita cuma khawatir lagi, kalo orang yang pandai bicara ternyata tidak pandai berbuat. Ngomong dimana-mana, di muka umum, bilang “harusnya gini”, “semestinya ini”. Padahal, dia sendiri gak pernah melakukannya? Terus, siapa yang bisa buktikan “yang diomongin” sama persis dengan “yang diperbuat”?
Lihat saja, di negeri ini. Berapa banyak masalah yang terlalu mudah diperdebatkan. Didiskusikan di depan publik. Disorot media. Dipakein mic, tiap ditanya dijawab. Hebat, pandai bicara banget. Seakan, semuanya beres dengan dibicarakan, diomongin. Ketika seseorang mau atau dinyatakan tersangka, masih aja diperdebatkan.
Alasan nyari 2 alat bukti. Sungguh, negeri ini sudah terjebak pada retorika belaka. Lalu, akal sehat dan hati nurani diabaikan. Parahnya lagi, agama juga dianggap angin lalu. Kalo sudah nyata benar atau salahnya, pakai dong ukuran moral, ukuran hati nurani. Gak usah berdebat, gak usah pandai bicara. Seolah yang salah bisa jadi benar atau sebaliknya. Belajar dimana sih pada?
Pandai bicara lagi. Negeri ini, kita jangan-jangan sudah terperangkap pada kebiasaan berdebat. Sudah jelas salah masih didiskusikan. Nontonin orang-orang yang hanya pandai bicara. Lalu, kita berteriak ini benar dan itu salah. Saya benar kamu salah. Setelah itu apa? Kita biarkan berlalu, tanpa perbuatan. Kalo salah ya tangkap, kalo benar ya bebaskan. Gitu aja kok repot.
Giliran orang miskin salah, langsung disidang dan mendekap di tahanan. Sementara orang kaya masih dicari dalilnya, belum ada alat bukti. Kita ini terlalu banyak bicara. Kita ngomong takut melanggar HAM. Tapi berani menghukum orang kecil yang gak jelas salahnya.
Terus, kalo masih ada anak-anak di kampung yang gak mau sekolah karena orang tuanya gak punya uang, melanggar HAM gak? Lihat tuh, banyak Puskesmas udah dibangun kemarin, sekarang berhenti dan gak selesai-selesai. Apa itu tidak melanggar HAM? Ngomong aja pada.
Kita bela rame-rame kedaulatan negeri ini saat dilecehkkan bangsa lain. Tapi kita sendiri melemahkannya. Kita selalu berikrar dengan sombongnya, SATU bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Tapi kita juga senang tercerai-berai gara-gara beda pendapat, beda idole pemimpin. Lagi-lagi, pandai bicara ….
Pandai bicara itu bagus, jika diikuti dengan perbuatan. Apa yang diomong harus sama dengan yang diperbuat. Jangan jadi orang yang pandai bicara, tapi sedikit mendengar. Bicara menunjukkan kesalahan orang lain, tapi gak bisa menyadari kesalahan diri sendiri. Salah dan benar, akhirnya cuma retorika. Ilmu dari mana kayak gitu ?
Pandai bicara. Mahir dalam menangkis pertanyaan. Memang itu anugerah yang patut disyukuri. Tapi bukan jaminan adanya kebaikan, kebenaran, bahkan kejujuran. Seperti kata hadits, "Yang paling aku takuti atas kamu sesudah aku tiada adalah orang munafik yang pandai bersilat lidah." Mari kita renungkan.
Saya juga ngeri, jangan-jangan tulisan ini juga cuma pandai bicara. Merasa sok jago bertutur kata. Tapi setidaknya, saya sudah mengingatkan diri saya sendiri. Alias sadar. Minimal sudah berbuat dengan menuliskannya. Agar tidak hanya pandai bicara. Karena, banyak orang yang hanya pandai bicara. Tapi prakteknya NOL BESAR.
#BelajarDariOrangGoblok