Friday, January 6, 2017

Jalani, syukuri, nikmati




🌾Bismillahir_Rahmaanir_Rahim. 

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Di tengah gemuruhnya kota, ternyata Riyadh menyimpan bayak kisah. 

Kota ini menyimpan rahasia yang hanya diperdengarkan kepada telinga dan hati yang mendengar. 

Tentu saja,

Hidayah adalah kehendak-NYA dan Hidayah hanya akan diberikan
kepada mereka yang mencarinya.

Ada sebuah energi yang luar biasa dari cerita yang kudengar beberapa hari yang lalu dari sahabat.

Saya mengenal banyak dari mereka, ada beberapa dari Palestina, Bahrain, Jordan, Syiria, Pakistan, India, Srilanka, dan kebanyakan dari Mesir
dan Saudi Arabia sendiri. 

Ada beberapa juga dari suku Arab yang tinggal di benua Afrika. 

Salah satunya adalah teman dari Negara Sudan, Afrika.

Saya mengenalnya dengan nama
Ammar Mustafa, dia salah satu
muslim kulit hitam yang juga kerja di
hotel ini. 

Beberapa bulan ini saya tidak lagi melihatnya berkerja.

Biasanya saya melihatnya bekerja bersama pekerja lainnya menggarap proyek bangunan di tengah terik matahari kota Riyadh yang sampai saat ini belum bisa ramah di kulit saya.

Hari itu Ammar tidak terlihat. 

Karena penasaran, saya coba tanyakan
kepada Iqbal tentang kabarnya. 

“Oh kamu tidak tahu?” 

Jawabnya balik bertanya, memakai bahasa Inggris khas India yang bercampur dengan
logat urdhu yang pekat.

“Iya beberapa minggu ini dia gak
terlihat di Mushola ya?” 

Jawab saya.






Selepas itu, tanpa saya duga Iqbal bercerita panjang lebar tentang Ammar.

Dia menceritakan tentang hidup Ammar yang pedih dari awal hingga akhir, semula saya keheranan melihat matanya yang menerawang jauh. Seperti ingin memanggil kembali sosok teman sekamarnya itu.

Saya mendengarkan dengan
seksama.

Ternyata Ammar datang ke kota Riyadh ini lima tahun yang lalu, tepatnya sekitar tahun 2004 lalu. 

Ia datang ke negeri ini dengan tangan kosong, dia nekad pergi meninggalkan keluarganya di Sudan untuk mencari kehidupan di kota ini.

Saudi Arabia memang memberikan free visa untuk negara-negara Arab lainnya termasuk Sudan, jadi ia bisa bebas mencari kerja di sini asal punya pasport dan tiket.

Sayang, kehidupan memang tidak
selamanya bersahabat. 

Do’a Ammar untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di kota ini demi keluarganya ternyata saat itu belum terkabul.

Dia bekerja berpindah-pindah dengan gaji yang sangat kecil, uang gajinya tidak sanggup untuk membayar apartemen hingga ia tinggal di apartemen teman-temannya.

Meski demikian, Ammar tetap gigih mencari pekerjaan. Ia tetap mencari kesempatan agar bisa mengirim uang untuk keluarganya di Sudan.

Bulan pertama berlalu kering, bulan kedua semakin berat.. Bulan ketiga hingga tahun-tahun berikutnya kepedihan Ammar tidak kunjung berakhir.. 

Waktu bergeser lamban dan berat, telah lima tahun Ammar hidup berpindah-pindah di kota ini.

Bekerja di bawah tekanan panas matahari dan suasana kota yang garang. 

Tapi Ammar tetap bertahan dalam kesabaran.

Kota metropolitan akan lebih parah dari hutan rimba jika kita tidak tahu caranya untuk mendapatkan uang, di hutan bahkan lebih baik. 

Di hutan kita masih bisa menemukan buah-buah, tapi di kota? 

Kota adalah belantara penderitaan yang akan menjerat siapa saja yang tidak
mampu bersaing.

Riyadh adalah ibu kota Saudi Arabia.

Hanya berjarak 7 jam dari Dubai dan 10 jam jarak tempuh dengan bis menuju Makkah. 

Di hampir keseluruhan kota ini tidak ada pepohonan untuk berlindung saat panas. 

Di sini hanya terlihat kurma-kurma yang berbuah satu kali dalam setahun..

Ammar seperti terjerat di belantara kota ini. 

Pulang ke Suddan bukan pilihan terbaik, ia sudah melangkah, ia harus membawa perubahan untuk kehidupan keluarganya di negeri Sudan. 

Itu tekadnya. 

Ammar tetap tabah dan tidak berlepas diri dari keluarganya. 

Ia tetap mengirimi mereka uang meski sangat sedikit, meski harus ditukar dengan lapar dan haus untuk raganya di sini.

Sering ia melewatkan harinya dengan puasa menahan dahaga dan lapar sambil terus melangkah, berikhtiar mencari suap demi suap nasi untuk keluarganya di Sudan.

Tapi Ammar pun manusia. Di tahun kelima ini ia tidak tahan lagi menahan malu dengan teman temannya yang ia kenal, sudah lima tahun ia berpindah-pindah kerja dan numpang di teman-temannya tapi kehidupannya tidak kunjung berubah.

Ia memutuskan untuk pulang ke Sudan. 

Tekadnya telah bulat untuk kembali menemui keluarganya, meski dengan tanpa uang yang ia bawa untuk mereka yang menunggunya.

Saat itupun sebenarnya ia tidak
memiliki uang, meski sebatas uang untuk tiket pulang. 

Ia memaksakan diri menceritakan keinginannya untuk pulang itu kepada teman terdekatnya. 

Dan salah satu teman baik Ammar memahaminya. 

Ia memberinya sejumlah uang untuk beli satu tiket penerbangan ke Sudan.

Hari itu juga Ammar berpamitan
untuk pergi meninggalkan kota ini
dengan niat untuk kembali ke
keluarganya dan mencari kehidupan di sana saja.

Ia pergi ke sebuah Agen di jalan
Olaya, Riyadh, untuk menukar uangnya dengan tiket. 

Sayang, ternyata semua penerbangan Riyadh – Sudan minggu ini susah didapat karena konflik di Libya, negara tetangganya.

Tiket hanya tersedia untuk kelas
executive saja.

Akhirnya ia beli tiket untuk
penerbangan minggu berikutnya. 

Ia memesan dari saat itu supaya bisa lebih murah. 

Tiket sudah di tangan, dan jadwal terbang masih minggu depan.

Ammar sedikit kebingungan dengan nasibnya. 

Tadi pagi ia tidak sarapan karena sudah tidak sanggup lagi menahan malu sama temannya, siang inipun belum ada celah untuk makan siang. 

Tapi baginya ini bukan hal pertama. Ia hampir terbiasa dengan kebiasaan itu.

Adzan dzuhur bergema.

Semua toko-toko, supermarket, bank, dan kantor pemerintah serentak menutup pintu dan menguncinya. 

Security kota berjaga jaga di luar kantor-kantor, menunggu hingga waktu sholat berjamaah selesai.

Ammar tergesa menuju sebuah
masjid di pusat kota Riyadh. 

Ia mengikatkan tas kosongnya di
pinggang, kemudian mengambil
wudhu, memabasahi wajahnya yang hitam legam, mengusap rambutnya yang keriting dengan air.

Lalu ia masuk masjid. 

Sholat 2 rakaat untuk menghormati masjid. 

Ia duduk menunggu mutawwa memulai shalat berjamaah.

Hanya di setiap sholat itulah dia
merasakan kesejukan. 

Ia merasakan terlepas dari beban dunia yang menindihnya, hingga hatinya berada dalam ketenangan di tiap menit yang ia lalui.

Sholat telah selesai. Ammar masih bingung untuk memulai langkah.

Penerbangan masih seminggu lagi.

Ia diam ...

Dilihatnya beberapa mushaf Al-
Qur’an yang tersimpan rapi di pilar-pilar masjid yang kokoh itu. 

Ia mengambil salah satunya, bibirnya mulai bergetar membaca taawudz dan terus membaca Al-Qur’an hingga adzan Ashar tiba
menyapanya.

Selepas maghrib ia masih di sana.

Beberapa hari berikutnya, ia
memutuskan untuk tinggal di sana hingga jadwal penerbangan ke Sudan tiba.

Ammar memang telah terbiasa
bangun awal di setiap harinya.

Seperti pagi itu, ia adalah orang
pertama yang terbangun di sudut kota itu. 

Ammar mengumandangkan suara
indahnya memanggil jiwa-jiwa untuk sholat, membangunkan seisi kota saat fajar menyingsing menyapa kota.

Adzannya memang khas. 

Hingga bukan sebuah kebetulan juga jika Prince (Putra Raja Saudi) di kota itu juga terpanggil untuk sholat Subuh berjamaah di sana.

Adzan itu ia kumandangkan di setiap pagi dalam sisa seminggu
terakhirnya di kota Riyadh. 

Hingga jadwal penerbanganpun tiba. 

Di tiket tertulis jadwal penerbangan ke Sudan jam 05:23 am., artinya ia harus sudah ada di bandara jam 3 pagi atau 2 jam sebelumnya.

Ammar bangun lebih awal dan pamit kepada pengelola masjid, untuk mencari bis menuju bandara King Abdul Azis Riyadh yang hanya berjarak kurang dari 30 menit dari pusat Kota.

Ammar sudah duduk diruang tunggu di bandara. 

Penerbangan sepertinya sedikit ditunda, kecemasan mulai
meliputinya. 

Ia harus pulang ke negerinya tanpa uang sedikitpun,
padahal lima tahun ini tidak
sebentar, ia sudah berusaha
semaksimal mungkin.

Tapi inilah kehidupan, ia memahami bahwa dunia ini hanya persinggahan.

Ia tidak pernah ingin mencemari
kedekatannya dengan Penggenggam Alam Semesta ini dengan mengeluh.

Ia tetap berjalan tertatih memenuhi kewajiban-kewajibannya, sebagai Hamba Alloh, sebagai Imam dalam keluarga dan ayah buat anak-anaknya.

Diantara lamunan kecemasannya, ia dikejutkan oleh suara yang
memanggil-manggil namanya. 

Suara itu datang dari speaker di bandara tersebut, rasa kaget belum hilang, Ammar dikejutkan lagi oleh sekelompok berbadan tegap yang menghampirinya.

Mereka membawa Ammar ke mobil tanpa basa basi, mereka hanya berkata “Prince memanggilmu”.

Ammar-pun semakin kaget jika ia
ternyata mau dihadapkan dengan
Prince. 

Prince adalah Putra Raja,
kerajaan Saudi tidak hanya memiliki satu Prince. Prince dan Princess mereka banyak tersebar hingga ratusan di seluruh jazirah Arab ini.

Mereka memiliki Palace atau Istana masing-masing.

Keheranan dan ketakutan Ammar
baru sirna ketika ia sampai di masjid tempat ia menginap seminggu terakhir itu. 

Di sana pengelola masjid menceritakan bahwa Prince merasa kehilangan dengan adzan fajar yang biasa ia lantunkan.

Setiap kali Ammar adzan, Prince
selalu bangun dan merasa
terpanggil.. Hingga ketika adzan itu tidak terdengar, Prince merasa
kehilangan.

Saat mengetahui bahwa sang
Muadzin itu ternyata pulang ke
negerinya, Prince langsung
memerintahkan pihak bandara untuk menunda penerbangan dan segera menjemput Ammar yang saat itu sudah mau terbang untuk kembali ke negerinya.

Singkat cerita, Ammar sudah
berhadapan dengan Prince. 

Prince menyambut Ammar di rumahnya, dengan beberapa pertanyaan tentang alasan kenapa ia tergesa pulang ke Sudan.

Ammar-pun menceritakan bahwa ia sudah lima tahun di Kota Riyadh ini dan tidak mendapatkan kesempatan kerja yang tetap serta gaji yang cukup untuk menghidupi keluarganya.

Prince mengangguk-anguk dan
bertanya: “Berapakah gajimu dalam
satu bulan?” 

Ammar kebingungan, karena gaji yang ia terima tidak pernah tetap. Bahkan sering ia tidak punya gaji sama sekali, bahkan
berbulan-bulan tanpa gaji di negeri
ini.

Prince memakluminya. 

Beliau bertanya lagi: “Berapa gaji paling besar dalam sebulan yang pernah kamu dapati?”

Dahi Ammar berkerut mengingat
kembali catatan hitamnya selama
lima tahun ke belakang. 

Ia lalu menjawabnya dengan malu: “Hanya SR 1.400″, jawab Ammar.

Prince langsung memerintahkan
sekretarisnya untuk menghitung
uang. 

1.400 Real itu dikali dengan 5 tahun (60 bulan) dan hasilnya adalah SR 84.000 (84 Ribu Real = Rp.184.800.000). 

Saat itu juga bendahara Prince menghitung uang dan menyerahkannya kepada Ammar.

Tubuh Ammar bergetar melihat keajaiban dihadapannya.

Belum selesai bibirnya mengucapkan Hamdalah, Prince baik itu menghampiri dan memeluknya seraya berkata: 

“Aku tahu, cerita tentang keluargamu yang menantimu di Sudan.

Pulanglah temui istri dan anakmu
dengan uang ini. 

Lalu kembali lagi setelah 3 bulan. 

Saya siapkan tiketnya untuk kamu dan keluargamu kembali ke Riyadh. 

Jadilah Bilal di masjidku .. dan hiduplah bersama kami di Palace ini.”

Ammar tidak tahan lagi menahan air matanya. 

Ia tidak terharu dengan jumlah uang itu, uang itu memang sangat besar artinya di negeri Sudan yang miskin. 

Ammar menangis karena keyakinannya selama ini benar, Allah sungguh-sungguh
memperhatikannya selama ini,
kesabarannya selama lima tahun ini diakhiri dengan cara yang indah.

Ammar tidak usah lagi
membayangkan hantaman sinar
matahari di siang hari yang mengigit kulitnya. 

Ammar tidak usah lagi memikirkan kiriman tiap bulan untuk anaknya yang tidak ia ketahui akan ada atau tidak.

Semua berubah dalam sekejap! 

Lima tahun itu adalah masa yang lama bagi Ammar.

Tapi masa yang teramat singkat
untuk kekuasaan Allah. 

Nothing Imposible for Allah, 

Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah ...

Bumi inipun Milik Allah,..

Alam semesta, Hari ini dan Hari
Akhir serta Akhirat berada dalam
Kekuasaan-Nya.

Inilah buah dari kesabaran dan
keikhlasan. 

Ini adalah cerita nyata yang tokohnya belum beranjak dari kota ini, saat ini Ammar hidup cukup dengan sebuah rumah di dalam Palace milik Prince. 

Ia dianugerahi oleh Allah di Dunia ini hidup yang baik, ia menjabat sebagai Muadzin di Masjid Prince Saudi Arabia di pusat kota Riyadh.

Subhanallah…

Seperti itulah buah manis dari
kesabaran.

“Jika sabar itu mudah, tentu semua orang bisa melakukannya. 

Jika kamu mulai berkata sabar itu ada batasnya, itu cukup berarti pribadimu belum mampu menetapi kesabaran karena sabar itu tak ada batasnya. 

Batas kesabaran itu terletak didekat pintu Syurga dalam naungan keridhoan
Nya”.

Wallahu a'lam bishshawab, 

Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat membuka pintu hati kita.

Wabillahi Taufiq Walhidayah.  

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh🌾


No comments:

Post a Comment

NOTES :
- Harap bekomentar sesuai dengan judul postingan
- Tidak diperbolehkan mempromosikan barang atau berjualan
- Bagi yang berkomentar menyertakan link dianggap spam

==> SELAMAT BERKOMENTAR .... :D